TOKYO, Berita HUKUM - Setelah melalui proses hukum yang panjang, pada tanggal (26/12), Pengadilan Tinggi Tokyo membacakan putusan tingkat banding kasus Kotopanjang yang diajukan oleh perwakilan masyarakat yang terdampak atas pembangunan waduk Kotopanjang dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

Sidang yang dihadiri oleh perwakilan masyarakat korban pembangunan waduk Kotopanjang, WALHI dan sekitar 100 orang warga Jepang yang mendukung perjuangan ini dimulai pada jam 15:00 waktu setempat. 

Majelis Hakim yang terdiri dari 1 orang hakim ketua dan 2 hakim anggota memutuskan bahwa: mengenai pemindahan paksa merupakan masalah internal pemerintah Indonesia sebagai penerima bantuan/hutang, maka pemerintah Jepang tidak memiliki wewenang pengawasan atas pemindahan paksa terhadap masyarakat dan gajah berdasarkan yang didasarkan pada 3 (tiga) perjanjian syarat pembangunan waduk Kotopanjang. Pertanggungjawaban TEPSCO juga ditolak, karena TEPSCO tidak mempunyai kewajiban terhadap dampak listrik, kelestarian dan keragaman hewan dan tumbuhan, pengambilan rencana proyek waduk, penilaian atas populasi masyarakat yang dipindahkan, perhitungan anggaran ganti rugi kepada masyarakat dan lainnya. Gugatan pertangungjawaban terhadap JICA juga ditolak dengan alasan pertanggungjawaban terhadap TEPSCO juga ditolak karena posisi keduanya dianggap sama. Pertimbangan selanjutnya adalah hubungan antara pemerintah Jepang dan pemerintah Republik Indonesia adalah hubungan diplomatik bukan hubungan hukum.

Menindaklanjuti putusan pengadilan Tinggi Tokyo tersebut, masyarakat korban pembangunan waduk kotopanjang dan WALHI sebagai organisasi lingkungan serta para pengacara dari Jepang bersepakat untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Kita diberikan waktu 30 (tiga puluh) hari untuk melengkapi persyaratan administratifnya.

Muhnur Setyahaprabu, Manager advokasi dan Pembelaan Hukum WALHI mengatakan bahwa, “putusan setebal 23 lembar ini, pada intinya juga dibahas dalam putusan tingkat pertama tahun 2009 lalu, seperti dikatakan dalan putusan tingkat pertama bahwa Pemerintah jepang tidak perlu bertanggung jawab atas apa yang dituntu oleh para penggugat,” ujar Muhnur Satyahaprabu.

Putusan ini sangat mengecewakan karena pertimbangan putusannya mengesampingkan apa yang kita buktikan dalam persidangan. “Kita sudah banyak mengahadirkan saksi dan bukti yang menerangkan bahwa masyarakat Kotopanjang sengsara atas adanya proyek ini, selain itu juga kwalitas lingkungan juga menurun. Dalam persidangan tingkat Kasasi nanti kami akan lebih banyak membuktikan tentang logika masalah internal yang selalu menjadi alasan hakim menolak gugatan kita,” kata Muhnur Satyahparbu.

Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Abet Nego Tarigan menyatakan bahwa, “Meskipun kalah, namun yang patut dicatat dalam upaya hukum ini, bahwa putusan Pengadilan Tinggi Tokyo mengakui WALHI mempunyai hak gugat selaku pihak yang bersangkutan. Ini artinya bahwa legal standing WALHI diakui dalam pengadilan di Jepang. Ini merupakan sebuah preseden baik dalam upaya penegakkan hukum lingkungan yang ditempuh oleh WALHI melalui jalur pengadilan diluar Pengadilan di Indonesia. Meskipun begitu Walhi akan terus melakukan upaya hukum terkait dengan putusan ini, pertanggungjawaban Negara pemberi hutang terhadap pelaksaan project adalah satu kewajiban sehingga kedepan semua pembangunan tidak berdampak buruk terhadap masyarakat dan lingkungan,” ujarnya.(wlh/bhc/opn)