28 Feb 2013



Sinopsis Film : The Burning Season - The Chico Mendes Story
Perjuangan Tanpa Senjata ala Chico Mendes
Kader Rakyat (22 Februari 2013), Palangka Raya.

Pada awal film itu diperlihatkan bagaimana seorang lelaki yang sudah setengah baya dan anak lelakinya menelusuri sungai dengan menggunakan perahu kecil demi menjual beberapa kilo getah karet yang sudah kering kepada seorang tengkulak di kota. Meskipun harga jual yang ditawarkan begitu rendah, lelaki tua itu dengan rela menerima beberapa kepingan Cruzeiro setelah dikurangi hutang-hutangnya pada tengkulak. Sementara anak lelakinya melontarkan pertanyaan-pertanyaan sederhana perihal penjualan getah karet pada ayahnya ketika mereka selesai bertransaksi. Mungkin anaknya menyadari bahwa ayahnya telah dicurangi oleh tengkulak tersebut, dan ayahnya tidak menanggapinya karena ayahnya merasa tidak ada pilihan lain untuk memanfaatkan getah karet tersebut.

Itulah gambaran sepenggal kehidupan orang Chacoeira, Brazil sekitar tahun 1950-an yang coba dilukiskan dalam Film “Burning Season”. Sebagian masyarakat Chacoeira menggantungkan hidupnya pada penyadapan getah karet. Menyadap getah karet bisa dikatakan salah satu mata pencaharian yang utama bagi mereka. Dengan sebilah pisau yang digunakan untuk mengelupas kulit pohon karet hingga terlihat cairan puith kental yang keluar mengikuti alur guratan pisau dan mengumpul dalam sebuah wadah yang terbuat dari tempurung kelapa. Begitulah teknik yang sederhana dalam menyadap getah karet. Oleh karena itu keberadaan pohon-pohon karet akan berkaitan erat dengan kelangsungan hidup masyarakat Chacoeira.

Namun sekitar tahun 1980-an, kelangsungan hidup orang Chacoeira mulai ternacam seiring dengan penebangan-penebangan pohon yang dilakukan oleh pemerintah yang bertujuan untuk pembuatan jalan dan peternakan.

Lahirnya Gerakan Kemasyarakatan

Sejumlah anggota masyarakat Chacoeira berkumpul dalam sebuah gereja. Semua jamaat gereja memperlihatkan ekspresinya masing-masing, ada yang serius, mengantuk dan mungkin tidak mengerti sama sekali. Mereka bukan sekedar mendengar ceramah dari seorang pastor tetapi mendengar ceramah dari seorang perintis Serikat Pekerja Chacoeira yang bernama Wilson Pinheiro. Dari ceramahnya yang mengebu-gebu dan menyisipkan pesan-pesan Yesus atas penebangan-penebangan pohon karet. Dan dengan analogi sebatang ranting pohon akan mudah dipatahkan ketimbang seikat ranting pohon yang ditunjukan kepada jamaat geraja. Wilson Pinheiro berhasil mengambil emosi jamaatnya dan berhasil mendukungnya untuk melakukan aksi koletif dalam melawan dan mencegah aksi-aksi penebangan pohon karet yang sedang berlangsung di Chacoeira.

Serikat Kerja Chacoeira yang terdiri dari para pemuda dan orang tua setengah baya berhasil menghalau penebangan yang dilakukan oleh pemerintah yang bekerjasama dengan elit Desa yakni seorang tuan tanah sekaligus pemilik peternakan domba.

Namun aksi kolektif tersebut menimbulkan ancaman pembunuhan---disimbolkan oleh kepala kambing segar yang tergantung didepan pintu rumah. Bagi Wilson ancaman tersbut tidak meluluhkan tekadnya untuk melakukan aksi perlawanan. Dan pada suatu ketika Wilson Pinheiro ditembak mati oleh salah seorang kaki tangan penentang aksi perlawanannya. Kematian Wilson Pinheiro tidak menyurutkan perlawanan Serikat Pekerja Chacoeira, layaknya

pepatah hutang nyawa dibayar dengan nyawa. Orang pemerintah pun mati ditangan pendukung Serikat Pekerja Chacoeira.

Chico Mendes Sang Pembaharu Gerakan

Semenjak kematian Wilson, praktis kepemimpinan gerakan ini diwariskan kepada Chico Mendes---seorang anak lelaki yang muncul diawal film tersebut. Karena hanya dia yang mampu memimpin gerakan perlawanan Chacoeira. Pada awalnya gerakan ini menggunakan senjata dalam perlawanannya namun setelah dipimpin oleh Chico Mendes setiap aksi yang dilakukan tidak pernah menggunakan senjata. Bagi Chico, penggunaan senjata bukan cara terbaik dalam melakukakn aksi perlawanan karena dengan senjata akan berdampak pada kematian bagi kedua belah pihak yang masing-masing adalah saudara mereka sendiri. Maka dari itu setiap aksi yang dilakukannya, Chico hanya mengandalkan retorika kata-kata yang digunakannya sebagai senjata dalam melakukkan perlawanan. Meskipun perlawanan tanpa senjata ini harus dibayar dengan kematian teman-teman seperjuangannya akan tetapi Chico tidak berusaha untuk membalasnya dengan nyawa juga.


Dengan mencalonkan diri sebagai calon presiden, ia mencoba mencari dukungan politik dari semua warganya namun perjuangan tersebut tidak berhasil. Dan dengan bantuan seorang teman wartawan Amerikanya, ia pergi ke Amerika untuk meminta bantuan atas perjuangan yang dilakukannya beserta Serikat Kerja Chacoeira. Meskipun pada awalnya, ia mendapat hambatan dari para elit disana. Namun pidatonya yang memukau yang disiarkan keseluruh dunia telah mengundang banyak pihak yang ikut peduli terhadap perjuangan Chico Mendes dan serikat pekerjanya.

Chico Mendes telah membuktikan kata-kata adalah senjata. Karena dengan pidatonya tersebut telah membuat pemerintah Brazil untuk menghentikan proyek pembuatan jalannya yang akan memusnahkan sebagian hutan tropis dan terutama pohon-pohon karet di wilayah Chacoeira.

Kemudian setelah tiba didaerah asalnya, ia disambut oleh masyarakat Chacoeira. Dan kemudian setelah dilakukan dialog yang menegangkan dan berlarut-larut dengan wakil pemerintah. Pada akhirnya perjuangan Chico dan Serikat pekerjanya berhasil menghentikan proyek pembuatan jalan untuk selama-lamanya. Walaupun pada akhir perjuangan itu pula harga yang harus dibayar adalah dengan kematian seorang Chico Mendes. Untuk mengenang jasa-jasanya maka wilayah hutan Chacoeira dijadikan Taman Nasional Chacoeira yang diumumkan secara resmi oleh pemerintah Brazil.

“seratus orang tak berpendidikan akan menimbulkan pemberontakan, satu orang berpendidikan merupakan awal dari munculnya suatu gerakan”(Chico Mendes)

Hasil Nonton Bareng Film

1. Problem
  • Masalah Dana Untuk Turun Kelapangan
  • Lapangan Pekerjaan Di Kampus
  • Problem Kerja-Kerja Kampus/Mahasiswa :
            A. Egoisme Individu Mahasiswa Mengenai  Pekerjaan (Pns)
            B. Egoisme Kelembagaan Mahasiswa           
            C. Masalah Diktat, Perlu Adanya Penyadaran Dan Perlu Bergerak Bersama
            D. Kurang Pendekatan
  • Banyak Membuat Forum/Lembaga Namun Menjadi Mati  (Tidak Terawat) Dan  Akhirnya Membuat Forum Baru
            A. Perlu Pupuk/ Formulasi
            B. Rantai Patronase
            C. Komitmen Dan Konsisten
            D. Praktek-Praktek Kerja
2. Solusi
      Sosialisasi /Propaganda
            A. Perlu Investigasi Kondisi Objektif
            B. Membuat Buletin
            C. Cara Mendakati Orang
            D. Pelajaran Kritik-Otokritik
            E. Kolektif
3. Program Kedepan
      Membuat Selebaran (Materi) Belajar Dari  Fak Pertanian.
      Menghidupkan Kembali Fordima Dengan Materinya Lebih Mengarah Kekampus. Pemateri Lebih Diperluas (Dosen Dll).
      Untuk Fordima Malam Kamis (27-2-2013) Pj : Tri Kusuma Atmaja, Materinya : Hak Demokratis Mahasiswa. Pemateri Amank, Tempat : Bem Fkip Unpar/UPT PGSD (Sikuy).
      Untuk Kader Rakyat Malam Sabtu (1-3-2013), Materi : Isak, Pemateri : Dany




Posted on 05.55 by Unknown

No comments



Diunggah IndoPROGRESS pada 19 Februari 2013 dalam Analisa EkoPol, Lingkungan

Siti Maimunah, aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)

SEPERTI tahun-tahun sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa  haram merayakan hari kasih sayang, tiap 14 Februari. Peringatan ini dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Beberapa kelompok Islam kemudian mengeluarkan seruan boikot hingga aksi penolakan di bunderan HI. Sayang, tak ada yang baru dan mencerdaskan pada polemik haram dan halal itu, sebab mereka gagal menghubungkannya dengan kapital dan pasar.

Bagi pasar, tak soal apakah Hari Valentine itu halal ataupun haram, yang penting  jadilah konsumen yang baik. Sampaikan kasih sayangmu melalui hadiah, dan teruslah berbelanja. Itu sebenarnya pesan tahunan perayaan hari kasih sayang sedunia itu.

Saya tidak tahu pasti berapa uang yang dihabiskan orang Indonesia untuk berbelanja di hari kasih sayang itu Tapi di Amerika Serikat (AS), hasil Survey BIGinsight untuk National Retail Federation (2013) menyebutkan, negara berpenduduk paling padat nomer empat di dunia ini menaikkan anggaran belanja hari kasih sayangnya hampir 4 persen, dengan total pembelanjaan lebih Rp 171 Trilyun. Lebih 10 persen besaran APBN Indonesia tahun ini.

Hasil survey menyebutkan, meski permen dan bunga menjadi hadiah favorit di hari kasih sayang, tapi warga AS menghabiskan uang paling banyak untuk membeli perhiasan. Satu dari lima warga AS menyatakan akan memberi perhiasan di hari kasih sayang. Angka online pengguna tablet dan smartphone untuk memesan barang-barang hadiah tersebut juga naik.

Perhiasan, seperti cincin berlian, pin, gelang, kalung dan jam tangan, maupun alat elektronik macam smartphone  dan tablet, bahan penyusun utamanya adalah logam. Barang-barang itu membutuhkan logam dasar, mulai besi, emas, perak, tembaga, baja, nikel, timah, cobalt, colton hingga jenis-jenis mineral langka lainnya (rare earth mineral). Tak hanya itu, mereka juga membutuhkan bahan bakar energi fosil sebagai sumber energi, untuk menggali bahan-bahan tersebut  dari dalam tanah, mengolahnya, hingga mengangkutnya dan sampai di tangan konsumen. Dari sinilah mestinya cerita di balik hari kasih sayang dikupas.


Emas kotor

Tepat perayaan hari kasih sayang 14 Februari 2013, situs Nodirtygold meluncurkan kampanye  emas kotor  Macy’s, yang menyerukan penduduk dunia untuk protes terhadap perusahaan ritel perhiasan yang memiliki 850  departement store Macy’s dan Bloomingdale’s di seluruh Amerika Serikat. Kampanye ini bertujuan menyadarkan para penjual dan pembeli perhiasan tentang wajah kotor industri pertambangan, sehingga membuat mereka menjadi konsumen yang lebih bertanggung jawab.

Emas merupakan penyusun utama perhiasan. Namun sebagian besar konsumen tidak tahu dari mana emas dalam perhiasan mereka berasal, dan bagaimana emas itu ditambang. Padahal, pertambangan emas adalah industri kotor, yang menggusur warga setempat, mencemari air minum warga, membahayakan pekerja, menghancurkan lingkungan  dan melanggar Hak Asasi Manusia. Pun penambangan logam-logam lainnya.

Pertambangan sendiri merupakan industri yang rakus lahan dan air.  Di Papua, luas konsesi tambang emas yang diberikan pada PT  Freeport McMooran pada 1967 meliputi luasan lebih 1 juta ha. Di Samarinda – ibukota Kalimantan Timur, ijin konsesi batubara telah meliputi 71 persen wilayahnya. Belakangan UU Mineral dan batubara No. 4 tahun 2009 mengatur maksimal luasan Ijin Usaha Pertambangan yang baru dibatasi 5 ribu – 100 ribu hektar. Angka yang luar biasa dibanding luas lahan rata-rata yang dimiliki sebagian besar petani Indonesia. Menurut Bappenas (2010), sekitar 53 persen petani Indonesia rata-rata memiliki luas lahan 0,5 hektar ke bawah.

Tidak hanya rakus lahan, industri pertambangan ini juga rakus air. Untuk mengekstraksi satu gram emas dari batuan dibutuhkan  sedikitnya 100 liter air. Selain membutuhkan air dalam jumlah luar biasa, industri pengerukan ini berpotensi mencemari sumber-sumber air. Sebab untuk mendapat satu gram cincin emas, rata-rata dihasilkan 20 ton limbah, baik limbah batuan maupun tailing berbentuk lumpur.

Tambang-tambang skala besar saat ini setidaknya membuang 180 juta ton limbah tambang berbahaya tiap tahunnya ke sungai, danau, dan lautan di seluruh dunia yang mengancam dan merusak badan-badan air dengan logam berat beracun dan bahan kimia lainnya. Tidak heran jika limbah menjadi salah satu  masalah utama pertambangan, tak hanya jumlahnya yang luar biasa besar, namun juga kandungan bahan beracunnya yang mematikan. Untuk memisahkan emas dari batuan, dibutuhkan sianida atau merkuri dan bahan kimia beracun lainnya. Nodirtygold menyebutkan, rata-rata tambang emas skala besar membutuhkan setidaknya 1900 ton Sianida per tahun. Padahal, sianida seukuran gabah saja dosisnya bisa fatal bagi manusia. Konsentrasi satu mikrogram (satu juta gram) per liter air bisa berakibat fatal pada ikan.

Di Amerika Serikat pertambangan logam dinobatkan Badan Perlindungan Lingkungan Hidup (EPA) sebagai pencemar lingkungan nomer satu di Amerika Serikat, yang bertanggung jawab terhadap 46 persen pelepasan bahan kimia beracun di lingkungan. Dalam laporan tentang pencemaran air oleh limbah pertambangan bertajuk  ’Troubled Waters’ (2012), dicontohkan beberapa perusahaan yang  mencemari sumber-sumber air dunia. Ada Barrick Gold, BHP Billiton, Freeport McMoran, Goldcorp Inc., Newcrest, Newmont, Rio Tinto, Teck, Xtrata dan Vale. Mereka berasal dari enam negara, yaitu Amerika Serikat, Kanada, Australia, Inggris, Swiss dan Brazil, yang sebagian besar melarang pembuangan limbah tambang  langsung ke sumber-sumber air.



Tapi perusahaan dan Negara-negara tersebut justru menerapkan standar ganda, dengan membiarkan perusahaan tambang mencemari dan membahayakan lingkungan negara lain. Banyak perusahaan tambang-tambang mereka yang justru beroperasi di dunia ketiga, di Asia, Afrika dan Latin Amerika. Mereka membuang limbah dalam jumlah lebih besar dan menghasilkan pendapatan yang jauh lebih besar dari operasinya di negara lain. Ini merupakan sebuah kejahatan sistematis antar bangsa yang dibiarkan sejak lama, meski Perserikatan bangsa-Bangsa telah berdiri sejak 1945.

Tujuh dari sepuluh perusahaan itu beroperasi di Indonesia. Tiga perusahaan asal Amerika serikat dan Inggris, yaitu Newmont dan Freeport/Rio Tinto saja membuang sedikitnya 360 ribu ton tailing perhari ke sungai dan lautan Indonesia. Belum lagi puluhan juta ton tailing dari dua perusahaan mereka yang sudah tutup, PT Newmont Minahasa raya  di Sulawesi Utara dan PT Kelian Equatorial Mining Kalimantan Timur. Perusakan lingkungan yang luar biasa dengan segala daya rusaknya akibat limbah tambang itu ditanggung warga dan pemerintah setempat serta generasi ke depan.

Lantas apa tanggapan pelaku pertambangan? Mereka mengampanyekan pertambangan sebagai bagian pembangunan berkelanjutan. Setidaknya itu yang dikampanyekan ICMM atau Dewan Pertambangan dan Mineral Internasional sejak didirikan pada 2001. Jaringan perusahaan-perusahaan tambang dan logam multinasional ini seolah ingin mengatakan: jangan kuatirkan daya rusak pertambangan, itu masa lalu, kami akan berubah, kami sama dengan sektor lainnya yang dibutuhkan untuk pembangunan berkelanjutan.

Namun tambang-tambang milik sepuluh perusahaan di atas bukan tambang-tambang kemarin sore. Tambang Rio Tinto di Spanyol bahkan sudah ditutup lebih 100 tahun lalu, tambangnya yang lain di pulau Bougainville Papua Nugini, yakni  tambang emas Panguna dimulai pada 1970, sementara Freeport mulai membuang limbahnya di sungai Ajkwa Papua dua tahun kemudian. Celakanya, sampai detik ini, mereka masih menggunakan metode buruk yang sama seperti puluhan tahun lalu. Mereka gagal membuktikan  kampanye mereka bukan sekedar pencitraan hijau. Apalagi separuh anggota ICMM masih terus membuang tailing ke sumber-sumber air dan masih berencana melakukannya pada tambang-tambang mereka yang baru.

Ini baru cerita tentang tambang skala besar, belum mengungkap limbah dan penggunaan bahan kimia beracun pada pertambangan rakyat yang menjamur di mana-mana. Belum ada yang tahu pasti berapa limbah yang dihasilkan tambang-tambang tersebut.  Tapi cerita pencemaran sumber-sumber air di sekitar lokasi tambang rakyat, seperti Pongkor di Jawa Barat,  Poboya di  Sulawesi Tengah, Bombana di Sulawesi Tenggara, Mandor di kalimantan Barat, dan lainnya, bukanlah cerita baru.

Daya rusak pertambangan emas dan logam lainnya dibalik perhiasan dan gadget, mesti menjadi bagian ‘merayakan’ hari kasih sayang, atau perayaan lainnya. Artinya saat kita merayakan hari kasih sayang dengan hadiah-hadiah tersebut, maka tak lagi bermakna ‘Aku sayang padamu.’ Makna sebenarnya  adalah ‘Aku telah meracuni air minum seseorang.’***

Sumber : http://indoprogress.com/limbah-hari-kasih-sayang/


Posted on 05.05 by Unknown

No comments

14 Feb 2013


Mitigasi adalah proses pengurangan emisi gas rumah kaca. Karena penyebab utama dari perubahan iklim adalah penggunaan bahan bakar fosil, seperti batubara dan minyak bumi, maka negara-negara seperti Amerika, Inggris dan Jepang, dan negara-negara industri lainnya diharuskan mengurangi 80% emisi mereka pada tahun 2050.

Di tingkat internasional dan nasional, Negara-negara  mencoba membangun berbagai skema/mekanisme untuk pengurangan emisi gas ruma kaca. Salah satunya adalah REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “Pengurangan Emisi Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan”.

Deforestasi dan degradasi hutan merupakan salah satu penyebab meningkatnya emisi gas rumah kaca. Beberapa kalangan menganggap bahwa membayar negara lain untuk mengurangi deforestasi merupakan cara yang lebih mudah dan murah untuk mengurangi emisi global. Dengan REDD, negara-negara dan pengusaha kaya mendanai negara-negara berkembang di daerah tropis untuk membantu mereka mengurangi deforestasi.

Namun, menurut masyarakat adat, cara terbaik bagi mitigasi perubahan iklim adalah dengan mengubah produksi dan pola konsumsi yang tidak berkelanjutan yang masih mendominasi sistem yang berlaku di dunia ini. Langkah mitigasi terbaik mencakup perubahan gaya hidup secara individu atau kolektif dan perubahan jalur pembangunan secara struktural menuju ke arah pembangunan yang berkelanjutan dan rendah karbon (Tebtebba).


Sumber : http://rumahiklim.org/masyarakat-adat-dan-perubahan-iklim/mitigasi/

Posted on 21.24 by Unknown

No comments