Diunggah
IndoPROGRESS pada 19 Februari 2013 dalam Analisa EkoPol, Lingkungan
Siti Maimunah, aktivis Jaringan Advokasi
Tambang (JATAM)
SEPERTI tahun-tahun sebelumnya, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram
merayakan hari kasih sayang, tiap 14 Februari. Peringatan ini dianggap
bertentangan dengan ajaran Islam. Beberapa kelompok Islam kemudian mengeluarkan
seruan boikot hingga aksi penolakan di bunderan HI. Sayang, tak ada yang baru
dan mencerdaskan pada polemik haram dan halal itu, sebab mereka gagal
menghubungkannya dengan kapital dan pasar.
Bagi pasar, tak soal apakah Hari Valentine
itu halal ataupun haram, yang penting jadilah konsumen yang baik. Sampaikan kasih
sayangmu melalui hadiah, dan teruslah berbelanja. Itu sebenarnya pesan tahunan
perayaan hari kasih sayang sedunia itu.
Saya tidak tahu pasti berapa uang yang
dihabiskan orang Indonesia untuk berbelanja di hari kasih sayang itu Tapi di
Amerika Serikat (AS), hasil Survey BIGinsight untuk National Retail Federation
(2013) menyebutkan, negara berpenduduk paling padat nomer empat di dunia ini
menaikkan anggaran belanja hari kasih sayangnya hampir 4 persen, dengan total
pembelanjaan lebih Rp 171 Trilyun. Lebih 10 persen besaran APBN Indonesia tahun
ini.
Hasil survey menyebutkan, meski permen dan
bunga menjadi hadiah favorit di hari kasih sayang, tapi warga AS menghabiskan
uang paling banyak untuk membeli perhiasan. Satu dari lima warga AS menyatakan
akan memberi perhiasan di hari kasih sayang. Angka online pengguna tablet dan
smartphone untuk memesan barang-barang hadiah tersebut juga naik.
Perhiasan, seperti cincin berlian, pin,
gelang, kalung dan jam tangan, maupun alat elektronik macam smartphone dan tablet, bahan penyusun utamanya adalah
logam. Barang-barang itu membutuhkan logam dasar, mulai besi, emas, perak,
tembaga, baja, nikel, timah, cobalt, colton hingga jenis-jenis mineral langka
lainnya (rare earth mineral). Tak hanya itu, mereka juga membutuhkan bahan
bakar energi fosil sebagai sumber energi, untuk menggali bahan-bahan
tersebut dari dalam tanah, mengolahnya,
hingga mengangkutnya dan sampai di tangan konsumen. Dari sinilah mestinya
cerita di balik hari kasih sayang dikupas.
Emas kotor
Tepat perayaan hari kasih sayang 14 Februari
2013, situs Nodirtygold meluncurkan kampanye
emas kotor Macy’s, yang
menyerukan penduduk dunia untuk protes terhadap perusahaan ritel perhiasan yang
memiliki 850 departement store Macy’s
dan Bloomingdale’s di seluruh Amerika Serikat. Kampanye ini bertujuan
menyadarkan para penjual dan pembeli perhiasan tentang wajah kotor industri
pertambangan, sehingga membuat mereka menjadi konsumen yang lebih bertanggung
jawab.
Emas merupakan penyusun utama perhiasan.
Namun sebagian besar konsumen tidak tahu dari mana emas dalam perhiasan mereka
berasal, dan bagaimana emas itu ditambang. Padahal, pertambangan emas adalah
industri kotor, yang menggusur warga setempat, mencemari air minum warga,
membahayakan pekerja, menghancurkan lingkungan
dan melanggar Hak Asasi Manusia. Pun penambangan logam-logam lainnya.
Pertambangan sendiri merupakan industri yang
rakus lahan dan air. Di Papua, luas
konsesi tambang emas yang diberikan pada PT
Freeport McMooran pada 1967 meliputi luasan lebih 1 juta ha. Di
Samarinda – ibukota Kalimantan Timur, ijin konsesi batubara telah meliputi 71
persen wilayahnya. Belakangan UU Mineral dan batubara No. 4 tahun 2009 mengatur
maksimal luasan Ijin Usaha Pertambangan yang baru dibatasi 5 ribu – 100 ribu
hektar. Angka yang luar biasa dibanding luas lahan rata-rata yang dimiliki
sebagian besar petani Indonesia. Menurut Bappenas (2010), sekitar 53 persen
petani Indonesia rata-rata memiliki luas lahan 0,5 hektar ke bawah.
Tidak hanya rakus lahan, industri
pertambangan ini juga rakus air. Untuk mengekstraksi satu gram emas dari batuan
dibutuhkan sedikitnya 100 liter air.
Selain membutuhkan air dalam jumlah luar biasa, industri pengerukan ini
berpotensi mencemari sumber-sumber air. Sebab untuk mendapat satu gram cincin
emas, rata-rata dihasilkan 20 ton limbah, baik limbah batuan maupun tailing
berbentuk lumpur.
Tambang-tambang skala besar saat ini
setidaknya membuang 180 juta ton limbah tambang berbahaya tiap tahunnya ke
sungai, danau, dan lautan di seluruh dunia yang mengancam dan merusak
badan-badan air dengan logam berat beracun dan bahan kimia lainnya. Tidak heran
jika limbah menjadi salah satu masalah
utama pertambangan, tak hanya jumlahnya yang luar biasa besar, namun juga
kandungan bahan beracunnya yang mematikan. Untuk memisahkan emas dari batuan,
dibutuhkan sianida atau merkuri dan bahan kimia beracun lainnya. Nodirtygold
menyebutkan, rata-rata tambang emas skala besar membutuhkan setidaknya 1900 ton
Sianida per tahun. Padahal, sianida seukuran gabah saja dosisnya bisa fatal
bagi manusia. Konsentrasi satu mikrogram (satu juta gram) per liter air bisa
berakibat fatal pada ikan.
Di Amerika Serikat pertambangan logam
dinobatkan Badan Perlindungan Lingkungan Hidup (EPA) sebagai pencemar
lingkungan nomer satu di Amerika Serikat, yang bertanggung jawab terhadap 46
persen pelepasan bahan kimia beracun di lingkungan. Dalam laporan tentang
pencemaran air oleh limbah pertambangan bertajuk ’Troubled Waters’ (2012), dicontohkan beberapa
perusahaan yang mencemari sumber-sumber
air dunia. Ada Barrick Gold, BHP Billiton, Freeport McMoran, Goldcorp Inc.,
Newcrest, Newmont, Rio Tinto, Teck, Xtrata dan Vale. Mereka berasal dari enam
negara, yaitu Amerika Serikat, Kanada, Australia, Inggris, Swiss dan Brazil,
yang sebagian besar melarang pembuangan limbah tambang langsung ke sumber-sumber air.
Tapi perusahaan dan Negara-negara tersebut
justru menerapkan standar ganda, dengan membiarkan perusahaan tambang mencemari
dan membahayakan lingkungan negara lain. Banyak perusahaan tambang-tambang
mereka yang justru beroperasi di dunia ketiga, di Asia, Afrika dan Latin
Amerika. Mereka membuang limbah dalam jumlah lebih besar dan menghasilkan
pendapatan yang jauh lebih besar dari operasinya di negara lain. Ini merupakan
sebuah kejahatan sistematis antar bangsa yang dibiarkan sejak lama, meski
Perserikatan bangsa-Bangsa telah berdiri sejak 1945.
Tujuh dari sepuluh perusahaan itu beroperasi
di Indonesia. Tiga perusahaan asal Amerika serikat dan Inggris, yaitu Newmont
dan Freeport/Rio Tinto saja membuang sedikitnya 360 ribu ton tailing perhari ke
sungai dan lautan Indonesia. Belum lagi puluhan juta ton tailing dari dua
perusahaan mereka yang sudah tutup, PT Newmont Minahasa raya di Sulawesi Utara dan PT Kelian Equatorial
Mining Kalimantan Timur. Perusakan lingkungan yang luar biasa dengan segala
daya rusaknya akibat limbah tambang itu ditanggung warga dan pemerintah
setempat serta generasi ke depan.
Lantas apa tanggapan pelaku pertambangan?
Mereka mengampanyekan pertambangan sebagai bagian pembangunan berkelanjutan.
Setidaknya itu yang dikampanyekan ICMM atau Dewan Pertambangan dan Mineral
Internasional sejak didirikan pada 2001. Jaringan perusahaan-perusahaan tambang
dan logam multinasional ini seolah ingin mengatakan: jangan kuatirkan daya
rusak pertambangan, itu masa lalu, kami akan berubah, kami sama dengan sektor
lainnya yang dibutuhkan untuk pembangunan berkelanjutan.
Namun tambang-tambang milik sepuluh
perusahaan di atas bukan tambang-tambang kemarin sore. Tambang Rio Tinto di
Spanyol bahkan sudah ditutup lebih 100 tahun lalu, tambangnya yang lain di
pulau Bougainville Papua Nugini, yakni
tambang emas Panguna dimulai pada 1970, sementara Freeport mulai membuang
limbahnya di sungai Ajkwa Papua dua tahun kemudian. Celakanya, sampai detik
ini, mereka masih menggunakan metode buruk yang sama seperti puluhan tahun
lalu. Mereka gagal membuktikan kampanye
mereka bukan sekedar pencitraan hijau. Apalagi separuh anggota ICMM masih terus
membuang tailing ke sumber-sumber air dan masih berencana melakukannya pada
tambang-tambang mereka yang baru.
Ini baru cerita tentang tambang skala besar,
belum mengungkap limbah dan penggunaan bahan kimia beracun pada pertambangan
rakyat yang menjamur di mana-mana. Belum ada yang tahu pasti berapa limbah yang
dihasilkan tambang-tambang tersebut.
Tapi cerita pencemaran sumber-sumber air di sekitar lokasi tambang
rakyat, seperti Pongkor di Jawa Barat,
Poboya di Sulawesi Tengah,
Bombana di Sulawesi Tenggara, Mandor di kalimantan Barat, dan lainnya, bukanlah
cerita baru.
Daya rusak pertambangan emas dan logam lainnya
dibalik perhiasan dan gadget, mesti menjadi bagian ‘merayakan’ hari kasih
sayang, atau perayaan lainnya. Artinya saat kita merayakan hari kasih sayang
dengan hadiah-hadiah tersebut, maka tak lagi bermakna ‘Aku sayang padamu.’
Makna sebenarnya adalah ‘Aku telah
meracuni air minum seseorang.’***
Sumber : http://indoprogress.com/limbah-hari-kasih-sayang/
0 komentar:
Posting Komentar