Palangka
Raya, 4-6 Maret 2013
Tari Mapakat Jari Isac dari sanggar Tunjung
Nyaho Universitas Palangka Raya menyambut para peserta Side Event dalam rangka
Pertemuan Daerah Lingkungan Hidup (PDLH) Walhi Kalimantan Tengah tahun 2013
dengan tema Diskusi Publik : Wewujudkan Kedaulatan Rakyat Atas Sumber-Sumber
Penghidupan dan Keberlanjutan Lingkungan”, pagi itu di Aquarius Hotel. Tari Mapakat jari Isac melambangkan tentang
kebersamaan dalam kehidupan untuk melindungi alam serta lingkungan yang
berkelanjutan, dimana generasi berikutnya tetap mendapatkannya dengan baik.
Setelah pentas seni selesai acara dilanjutkan dengan pembukaan oleh pembawa
acara dan sekaligus meminta para peserta undangan (peserta side event) untuk
berdiri dan bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Lagu
kebangsaan Indonesia Raya pun dikumandangkan mengema diseluruh sudut ruang
pertemuan namun salah satu peserta yaitu Bang Ethos selaku Dewan Daerah Wahana
Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah meminta para peserta untuk mengulang kembali
menyanyikan lagu kebangsaan tersebut, karena menurut beliau menyanyikan lagu
Indonesia Raya harus dengan hikmat dan serius, lalu Bang Ethospun memimpin
jalannya menyanyikan lagu Indonesia Raya untuk kedua kalinya. Dengan
berakhirnya lagu Indonesia Raya acara dilanjutkan dengan sambutan serta
pembukaan oleh Ketua Dewan Daerah Kalimantan Tengah periode 2009-2017 yaitu
Bang Ethos.
|
Gambar.1 Tari Mapakat Jari Isac
|
|
Gambar.2 Sambutan sekaligus pembukaan acara side event PDLH
Walhi Kalteng 2013 oleh Bang Ethos HL selaku Dewan Daerah Walhi Kalimantan
Tengah
|
Rehat Cofee Break
pertama telah usai acara Side Event Diskusi Publik memasuki sesi pertama dimana
sesi pertama ini diisi oleh beberapa nasarasumber yaitu : 1. Prof.
Soetandyo Wignjosoebroto (Guru Besar Universitas Airlangga) 2. Pdt. Dr. Marko
Mahin, STh, MA (Akademisi Universitas Kristen
Palangka Raya), 3. Abet Nego Tarigan
(Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) yang dipandu
oleh Bung Danar. Prof.Soetandyo membuat sebuah makalah dengan judul Menemukan
Alternatif Pemecahan Masalah Kontradiksi Antara Hukum Negara Dengan Hukum Adat Demi Terwujudnya Kedaulatan
Rakyat Atas Sumber-Sumber Penghidupan
Dan Keberlanjutan Lingkungan. Prof.Soetandyo menjelaskan dalam makalahnya :
“Kalimantan
Tengah memiliki sumberdaya alam dan mineral yang kaya, yang berpotensi bisa mensejahterakan
masyarakat. Kekayaan yang besar telah mengundang datangnya investasi di bidang
kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Tak pelak lagi datangnya investasi
mengundang datangnya pergeseran pendayagunaan kawasan, khususnya kawasan hutan
yang berkonsekuensi pada terjadinya perjumpaan –- dan boleh dikatakan hampir
selalu juga benturan-benturan antara kepentingan dan kekuatan sosial-ekonomi
yang datang dari luar dan apa yang selama ini terstruktur sebagai kekuatan
lokal”.
|
Gambar.3 Pemaparan dari Prof.Seotandyo Wignjosoebroto
|
Beliau juga menambahkan tentang dampak dari kekayaan sumberdaya
alam Kalimantan yang akhirnya mendatangkan aktivitas ekonomi dari luar
berdampak pada perubahan lingkungan masyarakat aseli. Sesuai dengan pemaparan
beliau :
“Datangnya aktivitas ekonomik dari luar yang disahkan oleh hukum
perundang-undangan nasional ke bumi Kalimantan itu tentu saja akan menimbulkan
perubahan besar pada lingkungan kehidupan masyarakat pemukiman aseli. Manakala datangnya perubahan berlangsung
terlalu cepat, dan masyarakat setempat tak lagi mempunyai kesempatan dan
peluang yang cukup untuk menyesuaikan diri ke situasi medan yang berubah. Tertib kehidupan yang lama sebagaimana
tertata berdasarkan tradisi hukum tua akan terdampak keras, dan kelangsungannya
mengalami ancaman. Kebijakan nasional
yang sepertinya tak lagi berkehendak untuk melindungi masyarakat adat --yang
semula terstruktur sebagai masyarakat hukum (rechtsgemeenschap) –- kian
menegaskan terjadinya kooptasi yang akan mengunci masyarakat dan memerangkap
warga-warganya ke dalam sistem ekonomi nasional dan global yang kapitalistik”.
Dalam
bagian terakhir dari makalah beliau, Prof.Soetandyo mengemukakan tentang
bagaimana mengatasi masalah yang muncul dengan adanya aktivitas ekonomi yang
merubah pola kehidupan masyarakat Kalimantan tersebut, adapun tulisan bagian
akhir dari makalah beliau adalah sebagai berikut :
Terjadinya perubahan –- di manapun, juga di bumi Kalimantan ini --
memang tak terelakkan. Tetapi, manakala
terjadinya perubahan di negeri ini memang seperti disengaja sebagai bagian dari
kebijakan ekonomi nasional untuk memanfaatkan setiap jengkal lahan, dan masalah
yang diantisipasi akan timbul sebagai akibat kebijakan pembangunan itu hanya
sebagai masalah kerusakan lingkungan fisik, dan serta merta mengabaikan
kerusakan sosial komunitas-komunitas setempak, maka yang akan tertampakkan
sebagai masalah hanyalah suatu insiden di luar kontrol yang dinamakan natural
disaster dan bukan masalah yang berhakikat sebagai apa yang disebut social
disaster.
Mengatasi masalah dengan pendekatan yang hanya berkiblat pada
paradigma teknis-juridis, dan melupakan aspek-aspek sosial-kultural akan
berujung pada terjadinya masalah yang tak akan mudah diselesaikan tanpa menimbulkan
masalah lain susulannya. Deforestation,
perubahan iklim, kerusakan lingkungan, semua itu tak akan bisa segera diselesaikan bila-bila
aspek sosial-kultural tak diikutkan sebagai bagian dari kerusakan yang
terjadi. Bumi, air dan kekayaan yang terkandung
di dalamnya tak akan memberikan manfaat apapun kepada kita semua apabila hanya
dikuasai negara berdasarkan hukum konstitusi dan bersaranakan hukum
perundang-undangan nasional, dan tidak menyertakan keberdayaan masyarakat
setempat sebagai modal sosial yang tak bisa diabaikan.
Apabila alih-alih dijaga keberdayaannya, dan akan gantinya
keberdayaan kekuatan lokal diperlemah untuk bisa dikooptasi untuk kepentingan
yang dibilangkan sebagai kepentingan nasional yang masih saja berparadigma
pertumbuhan, dan kesejahteraan rakyat tidak dipandang sebagai tujuan melainkan
sebagai bagian dari suatu ‘trade-off’ saja, maka masalah yang timbul sebagai
akibat kegagalan menjaga keberlangsungan lingkungan tidak akan segera bisa
diatasi. Apabila semua tertib kehidupan
hanya diatur dengan hukum yang datang dari pusat, sedangkan peraturan daerah
juga hanya memperkuat aspirasi pusat daripada daerah, maka yang terjadi akan
tetap merupakan kegiatan yang eksplotatif daripada yang empowering. Maka apabila alternatif pemecahan masalah
harus dicari, maka alternative itu mungkin hanya bisa ditemukan dalam strategi
yang ditunjukkan Professor Chambers sebagai the strategy of development from
the backdoor. [***]
Pemaparan
kedua disampaikan oleh Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia yaitu Bang Abert Nego Tarigan dengan judul presentasi beliau
“mengembalikan hak rakyat atas sumber daya alam”. Materi pertama dalam
presentasi Bang Abert menjelasakan tentang krisis lingkungan hidup dimana
menurut beliau penyebab utama dari krisis lingkungan hidup adalah :(a) alih
fungsi lahan, (b) pencemaran, (c) degradasi dan deforestasi. Hal ini disebabkan
oleh pembukaan pertambangan, perkebunan besar, pariwisata, industri dan
pembangunan infrasturuktur diareal tanaman pangan dan atau daerah penyangganya.
Sedangkan dampak dari krisis lingkungan menyangkut tentang : di tahun 2012, terjadi 503 kali banjir dan longsor yang menewaskan 125
orang,serta kebakaran hutan dan lahan sekurang – kurangnya 17,000 ha. Diperkirakan 470
Daerah Aliran Sungai rusak. sedang dampak krisis lingkungan bersifat ekologi berdampak pada
: (a) korban nyawa, (b) menurunnya produktifitas rakyat
dan (c) hilangnya sumber penghidupan rakyat.
Setelah
berbicara mengenai krisis lingkungan hidup berserta dampaknya Bang Nego
membicarakan tentang fenomena perubahan iklim dimana perubahan iklim bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan sebuah akumulasi dampak
dari sebuah kegagalan sistem ekonomi dan model pembangunan yang abai dengan keberlanjutan
nasib makhluk bumi. Kondisi ini diperkuat dengan analisis yang
tertuang dalam buku Vandana Shiva, seorang eco-feminist yang berjudul Water
Wars menuliskan bagaimana krisis air terjadi karena degradasi hutan,
pertanian monokultur dan pertambangan skala besar yang sangat rakus akan air
yang menyumbang emisi sangat besar.
|
Gambar.4 Pemaparan dari Bang Abert Nego Tarigan
|
Sedangkan
akhir dari presentasi Bang Nego menyoroti tentang upaya penyelesaian dari
seluruh kasus-kasus terkait hak rakyat atas sumber daya alam yaitu :
Upaya
|
Kendala dan Tantangan
|
Litigasi
|
• Penyelesaian berbasis kasus per kasus
• Tidak menjawab akar konflik
• Kesulitan masyarakat membuktikan dokumen formal atas tanah
• Biaya pengadilan mahal untuk masyarakat
• Ketiadaan pendampingan hukum masyarakat
|
Desk
Penyelesaian Konflik
|
•Berbasis kasus per kasus
•Tidak menjawab akan konflik
•Pendekatan sektoral
•Sangat tergantung kepada kecakapan dan kesiapan aparatus pemerintah
|
Private sector
Initiative
|
•Berbasis kasus per kasus
•Bersifat voluntary
•Tidak menjawab akan konflik
•Dapat berujung pada “legitimasi” ekspansi
industri
•Tidak ada jaminan seluruh perusahaan bergabung dalam inisiatif yang
dikembangkan
|
Sedangkan
upaya yang didorong oleh WALHI sendiri berupa : Mendorong perubahan sistem
ekonomi dan politik menuju pada tatanan ekonomi politik yang berasaskan pada
keadilan ekologis, sosial, ekonomi dan budaya inter dan antar generasi. Bersama
dengan civil society for climate justice, WALHI mendorong 4 pilar HELP: human
security, ecological debt, land tenure, production-consumtion. Mendorong
lahirnya UU Perubahan Iklim, moratorium berbasis capaian. Mendorong kelembagaan
penyelesaian konflik agraria dan SDA sebagai sebuah jalan untuk mewujudkan
keadilan ekologis. WALHI menggandeng seluruh kekuatan masyarakat sipil untuk
mengambil peran dalam penyelamatan lingkungan dan sumber-sumber kehidupan
rakyat.
Pemaparan
ketiga dari Bapak Pdt. Dr. Marko Mahin, STh, MA, Akademisi dan juga seorang pendeta ini menyampaikan
presentasinya tentang : keterancaman masyarakat adat dalam politik pengelolaan
sumber daya alam (SDA). Dalam pembukaan presentasi dari Bapak Marko ini beliau
menyebutkan tentang pengelolaan sumber daya alam mempunyai dua peran yaitu : 1.
Posisi dan peran strategis atas sumber daya alam, 2. Pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam. Untuk peran yang pertama
tengan posisi dan peran strategis atas sumber daya alam beliau menyebutkan
bahwa : Sumber daya alam merukan elemen yang
melekat dengan kewilayahan, mempunyai basis material bagi kehidupan dan
mempunyai elemen kunci untuk mengerakan struktur ekonomi politik negara dan
masyarakatnya. Sedangkan peran kedua dimana pihak-pihak yang berkepentingan
dalam pengelolaan sumber daya alam Bapak Marko menjelaskan : yang mempunyai kepentingan
atas sumber daya alam adalah : 1. Investor, 2. Partai politik, 3.Pemerintahan,
4. Masyarakat.
|
Gambar.5 Pemaparan dari Bapak Pdt. Dr. Marko
Mahin, STh, MA
|
Berikutnya
Bapak Marko menjelaskan tentang Alienasi politik yang berbentuk : Undang-Undang
sektoral, Tidak adanya unsur-unsur “transparency”,
“public participation”, “accountability” dan “responsibility”,
yang secara keseluruhan disebut sebagai tata pemerintahan yang baik (good governance) dan Tidak
adanya mekanisme peranserta masyarakat dan pengawasan yang setara. Sedangkan
alienasi politik sendiri menyasar kepada : alienasi Ekonomi, alienasi sosial
dan alienasi budaya. Untuk keterancaman masyarakat adat meliputi :
1. Menjadi Penonton
2. Menjadi Obyek Penderita, individu berfungsi sebagai instrumen, bukan sebagai makhluk
sosial.
3. Terasing Dari Alam
4. Terasing dari sesama manusia.
5. Terasing Dari Alat Produksi
6. Terasing Dari Proses Produksi
7. Terasing Dari Hasil Produksi
Presentasi
terakhir dari Bapak Marko menjelaskan tentang De-Alienasi meliputi 2 (dua) hal
yaitu : Revolusi ----- membangun sistem baru dengan menghancurkan sistem lama
dan Strukturasi -----membangun sistem baru dengan menggunakan sistem lama.
Setelah
ketiga narasumber selesai memaparkan presentasinya masing-masing acara
selanjutnya yaitu sesi diskusi.
|
|
|
Gambar.6 Susana diskusi sesi pertama
|
Bersambung..........
Dari Sahabatmu
Aryo Nugroho.W (Sang Penggoda)