Catatan Akhir Tahun Kondisi Lingkungan Hidup Dan
Sumbera Daya Alamdi Kalimantan Tengah Tahun 2011 WALHI Kalimantan Tengah
Kekuasaan Modal Menghancurkan Ekologi,
Melanggar Hukum dan Merampas Hak Hidup Rakyat
Jual murah
sumberdaya alam untuk kepentingan politik lokal
Kalimantan Tengah yang memiliki wilayah yang luas dan
bentang alam dan tipologi yang khas menjadikana wilayah ini kaya akan
keanekaragaman hayati dan flora faunan sebagai wilayah eco-region
yang memiliki karekteristik keberagaman ekosistem namun memiliki ketergantungan
satu sama lain serta menyatukan ekosiste m alam dengan masyarakat sehingga
dapat menjamin integritas, resiliensi, dan produktivitas sumber daya alamnya.
Kalimantan tengah memiliki 13 DAS yang besar yang merupakan sumber ekologi yang
terintergrasi satu dengan yang lainnya, namun akibat aktivitas investasi
di wilayah ini telah merubah bentang alam dengan merusak kawasan hutan, danau
dan wilayah resapan air digantikan lubang-lubang tambang dan tumbuhan
monokultur yang dipraktekan oleh industri yang dektruktif dan massif
tersebut. Kekayaan alam di kalimantan tengah ini justru menjadi bumerang
karena wilayah ini dijadikan sumber bahan baku berbasis komoditas untuk
di eksploitasi sumberdaya alamnya sejak jaman kolonial belanda. Pengerukan
sumberdaya lam semakin massif sejak pemerintahan Suharto dima pada era
tahun 70 an pulau kalimnatn kalimantan telah di keruk habis terutama kayu
log yang berasal dari wilayah hutan dataran rendah hingga hutan hujan tropis di
kawansa hulu di pedalaman Kalimantan tengah telah di ekploitasi oleh
puluhan perusahaan konglomersai krooni
Suharto untuk di ekport keluar negeri namun tidak menghasilkan apapun bagi
masyarakat di Kalimantan tengahPergeseran pegerukan sumberdaya alam mulai erjadi pada
era tahun 80-an dian mulai menipisnya bahan kayu di kalimantan tengah yang
menyisakan hutan sekunder yang terdegradasi yang menjadi surga bagi para
spekulan dengan menggunakan izin perkebunan sawit untuk mengambil kayu dengan
dalih IPK tanpa membangun kebun dengan serius. Selanjutnya izin Kuasa
Pertambangan khusunya batu bara bermunculan di berbagai wilyah terutama di
bagian utara kalteng yang di dukung oleh kebijakan otonomi daerah yang
memberikan kewengan kepada pejabat daerah untuk mengobral habis sumberdaya
alamnya melaui ijin konsensi untuk kepentingan politik dan menbangun
kerajaan bersama kroni dan keluarganya. Otonomi daerah yang di harapkan mapu
untuk mendistribusika pembangunan justru tidak menghasilkan perubahan apapun
bahkan menambah penderitaan bagi masyarakat di kalimantan tengah. Jumlah izin
dan luasan meloncak tajam sejak tahun 2004 hingg tahun 2010 dimana penerbitan
ijin konsensi dan izin rekomendasi ini berkaitan erat dengan momentum
pilkada baik di daerah maupun di provinsi Kalimantan tengah, Bahkan
akibat kerakusan tersebut terdapat dua wilayah yaitu Kabupaten Barito utara dan
kabupaten Kapuas telah mengeluarkan ijin melebihi dari luasan wilayah kabupaten
tersebut. Lain lagi di Kabupaten Seruyan untuk kepentingan politik dan menumpuk
kekayaannya dan keluarganya telah menerbitkan ijin untuk kroni-kroninya
yang kemudian menjual ke salah satu holding perusahan Malaysia yang kemudain di
take offer oleh pihak perusahaan wilmar grup yang merupakan salah satu pemain
utama dalam bisnis industri sawait di dunia. Hal ini sudah dilaporkan ke
KPK karena unsur-unsur korupsi sudah melekat dalam modus pemberian ijin ini
dimana dengan kewenagannya sebagai Bupati Seruyan tersebut telah
menerbitkan ijin untuk kepentingan keluarganya yang tidak memiliki kapasitas
untuk berbisnis dan proses perijinan yang di keluarkan tidak prosedural
mengakibatkan kerugian Negara yang merupakan unsur utama dalam delik korupsi di
sector kehutanan.
Kebijakan mereduksi emisi yang salah sasaran dan moratorium ijin yang tidak menghentikan deforestasi
Di tengah kondisi kerusakan lingkungan hidup dan tingkat deforestasi yang tinggi akibat konversi hutan untuk pertambangan dan perkebunan sawit, kalimantan tengah di tujuk oleh presiden SBY pada akhir tahun 2010 sebagai provinsi percontohan yang merupakan bagian dari perjanjian leter of inten (LOI) antara pemerintah indonesia dengan pemerintah kerajaan Norwegia terkait dengan upaya penurunan gas ruma kaca dari sector deforestasi dan degradasi hutan.
Situasi ini seolah menjadi angina segar untuk menyelamatkan hutan di Indonesia karena pemerintah norwegia akan meberikan dana sebesar 10 miliyar US dan janji presiden SBY untuk menurunkan angka emis sebsar 26 persen dengan upaya sendir dan 46 persen dengan bisnis us usual (BAU) bantuan dari pihak lain. NAmuan sangat di sayangkan upya ini hanya menjadi angsi seger yang hilang begitu saja karean tidak ada langkah kongkrit oleh pemerintah indonesia termasuk di kalimantan tengah untuk menghentikan sumber utama deforestasi yaitu konversi hutan dan gambut yang dilakuakn oleh perkebunan kelapa sawit dan pertambangan serta HPH/HTI. Secara global mekanisme yang di dorong lebih mengarah pada upaya pengalihan tanggun jawab negara maju yang tergolong pada Negara annex 1 serta pada prakteknya didominasi upaya makelar karbon untuk memperdagangkan carbon yang berasal dari hutan yang ada di kalimantan tengah dengan mekanisme pasar yang di balut dengan bisnis konservasi yang di jalankan oleh lembaga konservasi international dan para konsultan lintas negara.
Upaya lainnya adalah terbitnya inpres Nomor 10 tahun
2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan
alam primer dan lahan gambut yang juga merupakan salah satu langkah dalam
upaya menurunkan deforestasi dan degadasi hutan. Pada kenyataannnya
inpres ini hanya merupakan “lips service” karena banyak sekali kelemahan yang
menyertai kebijakan moratorium ini. Inpres ini dari status hukumnya sangat
lemah karena hanya merupakan instruksi presiden yang tidak masuk dalam struktur
perundang-undangan di indonesia sehingga tidak memiliki konswekensi hokum yang
tegas dan mengikat. Disi lain istilah hutan alam primer tidak ada dalam istilah
hokum di indonesai sehingga inpres ini cacat hukum dan juga mengaburkan objek
moratorium tersebut, sementara objek moratorium yang ada justru merupakan hutan
lindung yang sudah dilindungi melalui kebijakan yang lebih tinggi.
Yang paling penting dan mengkwatirkan adalah
pengecualian dalam inpres ini dimana wilayah yang dilindungai adalah perijinan
yang sudah di terbitkan dan mendapat persetujuan prinsip dari mentri tidak
termasuk dalam area moratorium sehingga kebijakn ini akan lebih mempercepat pengahcuran
hutan yang ada luar objek tersebut dimana perijian di Kalimantan tengah pada
tahun 2010 sudah mencapai 12, 8 juta hektar yang akan sangat besar
melakukan konversi hutan yang akan mengakibatkan pelepasan emisi yang lebih
besar dari wilyah-wilayah yang masuk dalam objek moratorium tersebut,
smentara didalam objek moratorium yang merupakan hutan primer dan kawasa
gambut tersebut sudah terdapat 118 ijin perkebunan sawit seluas 1,4
juta hektar dan 28 ijin pertambangan seluas 205, 854 hektar sianya merupaka
kawasan hutan lindung dan Taman Nansioanal Sebangau dan TN. Tanjung Puting.
Kebijakan REDD di Kalteng juga sudah banyak menimbulkan penolakan dari masyarakat adat dan menimbulkan konflik baru. Hal ini disebabkan banyak proyek demonstrasi REDD tanpa melibatkan masayrakat dan patsipasi yang aktif dari masayrakt di sekitarnya. Salah satunya adalah proyek Kalimantan Forest Patnership (KFCP) yang merupakan bentuk kerja sama antara pemerintah Australia dan indonesia dengan komitmen dana sebesar 70 Juta Dollas Australia hanya bisa melakukan penanaman seluas 50 hektar di wilayah eks PLG. Kawasan yang menjadi proyek KFCP merupakan wilayah eks PLG yang merupakan dosa kebijakan orde baru dan menyisakan konflik dan kerusakan lingkungan dimana KFCP mencoba menjadikan wilayah seluas 120.000 Ha di wilayah Blok E eks PLG sebagai demontrasi activity untuk REDD. Pada kenyataanya wilayah ini tanpa proyek tersebut tidak akan rusak karena banyak inisiatif masyrakat di sekitar kawasan tersebut masih memiliki kearifan tradisional dalam mengelola wilayah tersebut. Yang mengancm justru isin 23 buah perkebunan sawit seluas 360.000 ha yang kan merusak wilayah gambut di kawasa eks PLG tersebut. Proyek justru menjadi wilayah yang akan menutup akses masyarakat dan menjauhkan masyarakat dari hutan dan gambut yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka. Selain itu proyek ini tidak dilakukan melalui prinsip FPIC (free prior infor consent) yang merupakan standar utama untuk melindungi masyarakat dan melakukan konsultasi dan persetujuan tanpa kasaan terhadap proyek tersebut, akibatnya konflik di tingkat masyarakat mulai muncul karena pendekatan ekonomi dan janji akan mendapatkan keuntungan finasial merupakan metode penaklukan yang dilakukan oleh pelaksana proyek yang d sponsori oleh lembaga konservasi international yang memiliki jejak buruk di kawasan ini. Disisi lain kebijakan volunteri market sudah bermunculan di kalimantan tengah dengan bentuk ijin IUPHK- Restorasi Ekosistem yang di motori oleh perusahaan PT. Rimba Makmur Utama di Katingan dan PT. Rimba Raya Conservation di Seruyan yang di sponsori oleh Gazprom Rusia (Shell rusia)[1] yang merupakan perusahaan multi nasioanal yang bergerak di bidang energy yang merupakan salah satu biang perusak lingkungan akibat eksploitasi energy yang mereka lakukan di berbagai belahan dunia mengakibatkan kerusakan lingkungan dan pelangggan HAM.
Okupasi kawasan hutan secara ilegal yang
merugikan negara namun tidak pernah tersentuh hukum
Masalah utama yang uadah menjadi rahasia umum
adalah prilakuaku korupsi dan pelanggaran hokum yang dilakuka oleh
pejabat daerah tanap ada upaya pengakan hokum oleh aparat penegak hukum.
Carut marutnya RTRWP kalteng adalah salah satu uaya pelemahan intrumen
hokum yang coab di terapkan oleh pegusaha dan pejabat daerah dlam menafaatkan dualise
pengunaan kawasan di kalimnat tengah. Pelanggaran hokum yang
dilakukan seolah-olah manjdi keterlajuran dan keslahan adminitarsi
yang dilakukan oleh pejabat daerah smentara perushaan medapatkan keuntungan
dengan tersu mengkonversia hutan dan menduakai kawasa hutan secra illegal tanpa
ijin pelapasan kawasa hutan dan membayar pajak atas penggunaan tanah dan
menghilangakan potensi pendapatan Negara dari tegakan kayu, dan pajak PSDH/
DR yang snagat besar.
Dari seluruh proses perijinan dikalimatan tengah
banyak sekali pelanggaran terhadap UU Kehutanan No 41 Tentang Kehutanan Tahun
1999 dimana perijain tersebut banyak berada di kawasan hutan secara
illegal karena belum memenuhi prosedural perijinan yang berlaku. Pelanggaran
perijinan untuk perkebunan besar sawit (PBS) dari 352 ijin hanya terdapat
68 Ijin PBS yang sudah memiliki ijin pelepasan kawasan hutan dari mentri
kehutanan.
Sementara untuk pertambangan dari 630 ijin
KP, 15 ijin PKP2B dan 5 ijin KK hanya 178 ijin yang di
nyatakan clear and clean oleh kementrian ESDM[2]. Sementara perijinan dalam kawasan
hutan terdapat 35 perusahaan yang sudah secara legal dimana
status perijinannya terdiri dari 11 unit ijin yang sudah mendapatkan surat
persetujuan pengunaan kawasan hutan dari Dirjen Badan Planologi Kehutanan dan 14
Unit surat persetujuan prinsip pinjam pakai kawasan hutan dari kementrian
kehutanan dan 14 unit yang sudah mendapatkan surat keputusan pinjam pakai
kawasan hutan dari mentri kehutanan.[3]
Semnatar dari temuan pokja dari kementrain kuhtanan
dan satgas mafi hokum terdapat 9 perushaan tambang yang beroperasi di
kawasan hutan lindung di kalimantan tengah dan terdapat 54 (lima puluh empat)
kasus perusahaan perkebunan, seluas 623.001 ha telah aktif membuka kebun di
kawasan hutan tanpa ijin pelepasan kawasan hutan dari Menetri Kehutanan, yang
tersebar di 10 kabupaten di kalimanta tengah.
Namun sayangnya temuan ini tidak pernah
ditindaklanjuti dengan upaya penegakan hukum dengan menyeret para pejabat
daerah dan perusahaan ke pengadilan. Hal ini menunjukan bahwa
pemerintah dan aparat penegak hokum sebagai pelaksana dan penjaga undang-undang
sudah tidak mampu lagi menjalankan mandatnya untuk menertibkan pelaggaran
oleh para investor justru terindikasi hanya dijadikan alat negosiasi
politik untuk mendapatkan keuntungan dari situasi yang terjadi.
Dari segi kerugian negara akibat dari pelanggaran
kawasan hutan yang tidak procedural tersebut terdapat beberapa temuan yang
sudah di ungkapkan ke publik antara lain adalah temuan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) terhadap tujuh perusahaan swasta nasional di Kalimantan Tengah diduga
telah merugikan negara sebesar Rp 111,3 miliar dan US$ 453 ribu. Kerugian
ini ditimbulkan dari dana reboisasi dan iuran hasil hutan[4]. Sementara temuan Kementrian Kehutanan
menyebutkan terdapat 282 perusahaan kebun dengan luas 3,8 juta hektare dan 629
perusahaan tambang dengan luas 3,5 juta hektar dengan kerugian Negara sebesar
Rp. 158,5 Triliun [5].
Kerusakan lingkungn dan bencana ekologi semakin
terpuruk atas praktek kotor korporasi dan lemahnya penegakan hokum.
Prilaku investasi yang tidak memiliki sensifitas atas
keberlangsungan lingkungan mengakibatkan ancaman serius bagi
wilayah ekologi genting yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan,
merupakan wilayah resapan air yang berfungsi hidrologis, penahan air, penyedia
unsur hara, rumah bagi keragaman hayati, dan keseimbangan suhu juga merupakan
penjamin sumber pangan, air bersih, maupun energi bagi masyarakat secara
berkelanjutan.
Setelah tahun 2010 dimana kawasan ekologi penting yag
teracam oleh ekploisai sumberdaya alam sepertai kawasan danau sembulu yang merupakan
wilayah tata air di kawasan DAS Seruyan dan sekitarnya dan tempat bermukim
ribuan penduduk dari 7 desa yang mengandalkan penghidupan dari danau tersebut
yang telah dikelilingi oleh sawit hingga ke pinggir-pinggir danau dan terancam
limbah pabrik akibat pembangunan pabrik di dekat danau. Sementara di kawasan
eks PLG yang merupakan wilayah koservasi dan rehabilitasi gambut yang
hancur oleh pembukaan proyek PLG saat ini terancam oleh 23 ijin
perkebunan sawit dan 10 ijin konsensi pertambangan. Di wilayah
kotawaringin timur kawasan perlindungan seperti bukit santuai, santiung
dan santilik telah di gunduli untuk perkebunan sawit, sementara sebagian
wilayah timur Taman Nasional Tanjung Putting sudah dicaplok dan
beralih fungsi menjadi perkebunan sawit milik PT.KUCC. Di Barito Selatan
wilayah pemukiman dan pemakaman suku Dayak Bawo yang memiliki
karakteristik budaya yang unik saat ini sudah terancam oleh pertambangan dan
HPH yang mengusur ruang-ruang kelola dan wilayah sakral suku Dayak Bawo.
Di wilayah Murung Raya yang merupakan kawasan resapan air bagi jutaan penduduk
yang hidup di sepanjang DAS Barito telah di berikan ijin konsensi ke perusaahan
multi nasional asal Australia yaitu BHP. Biliton yang memiliki catatan sejarah
kelam pengelolaan lingkungan di wilayah pertambangnya di seluruh dunia.
Sepanjang tahun 2010- hingga 2011 banyak pengelolaan
pabrik yang tidak sesuai dengan UKL / UPL juga menjadi bencana bagi
ekositem air dan masyarakat seperti pencemaran PT. Agro Indomas yang di
temukan langsung membuang IPAL nya ke sungai Rungau dan Rambania,
PT. Bumi Hutan Lestari yang mencemari sungai Bumban, PT. Mustika Sembuluh yang
masih memiliki persoalaan pencemaran di sungai sampit yang masih ditemukan
kebocoran pada pengeloalaan IPAL nya. Di kabupaten Kotawaringin timur PT.
Swadaya Sapta Putra yang mengancam penduduk Desa Padas dan Desa Bajarau di
wilayah kecamatan Parenggean, meluapnya kolam limbah penampungan milik
perusahaan Indo Muro Kencana pada akhir bulan desember 2010 yang mencemari
sungai Barito mengakibatkan banyak ikan yang mati merupakan contoh pengelolaan
lingkungan dan manajemen pematauaan yang tidak berkelanjutan. Pada bulan
november 2011 PT.Kalimantan Sawit Kusuma (KSK) mengakui adanya pencemaran
limbah dari pabrik yang membuat ribuan ikan mati di daerah bantaran Sungai
Mapam seperti, Desa Balai Riam, Jihing, dan Air Dua Di Kabupeten Sukamara.
Semnatara Di sesa buhut jaya kecamatan kapus tengah terjadi pencemara
limbah batu bara oleh perusahaan tambang PT Talen Orbit Prima (TOP).
Dalam penilaian program pengeloalan lingkungan hidup
yang dilakukan oleh kementrian lingkungan hidup di kalimantan tengah terdapat 8
perusahaan yang bermasalah dari 23 perusahaan yang di nilai. Ada 7 perusahaan
yang terancam dicabut izinnya atau Drop Out (DO) lantaran mendapat rapor merah
yaitu PT Katingan Indah Utama, PT Sinar Alam Permai, PT Sarana Prima
Multiniaga, PT Tunas Agro Subur Kencana, PT Sapta Karya Damai (Asam Jawa
Group), PT Indomuro Kencana dan PT Marunda Graha Mineral. Dan satu perusahaan
mendapatkan raport hitam, yakni PT Bangkit Giat Usaha Mandiri menujukan bahwa
mekanisme pengeloalan lingkungan yang sangat jelek di kaimantan
tengah. Selain itu banyaknya pencemaran yang dilakukan oleh jutaan
hektar tambang yang tidak melakukan reklamasi dan revegetasi bekas lubang
tambang telah menyisakan ribuan kubik air yang terendam bercampur limbah
kimia yang sewaktu-waktu mengancam sumber air bersih dan penduduk yang
mengandalkan sungai sebagai urat nadi kehidupanya.
Akibat dari pengelolaan lingkungan hidup yang tidak
berkelanjutan tersebut kalimantan tengah menjadi wilayah rentan bencana ekologi
seperti banjir dan kebakaran hutan akibat deforestasi hutan dan degradasi
fungsi lingkungan. Di tahun 2010 bencana banjir merendam hampir di semua
wilayah di Kalimantan tengah dan merendam rumah ribuan penduduk terutama
wilayah potensi banjir seperti di Sungai Barito, di mana wilayah-wilayah yang
menjadi lokasi yang parah adalah kota Muara Teweh, Malungai, Buntok, Mengaktip,
bahkan kota Puruk Cahu yang merupakan wilayah hulu dan bertipologi dataran
tinggi tidak terlepas dari terjangan banjir.
Di sungai Kapuas wilayah yang terkena banjir
meliputi wilayah kecamatan Kapuas hulu dan Kapuas tengah. Di sungai
Kahayan wilayah yang menjadi wilayah banjir adalah Bahaur, Pulang pisau,
Palangkaraya khusunya wilayah Mendawai, Bereng bengkel dan Tundai. Kota
Kuala Kurun ibukota Kabupaten Gunung Mas yang sebelumnya jarang terendam
banjir tidak terlepas dari bencana banjir terutama di dua Kecamatan yaitu
Tewah dan Kecamatan Kurun merupakan wilayah terparah terendam banjir. Wilayah
sungai Mentaya yang paling parah mengalami kebanjiran seperti wilayah
Kecamatan Perenggean, Cempaga hulu, Kuala Kuayan hingga ke Antang Kalang dan
sekitarnya yang merupakan wilayah hulu sungai Mentaya. Lokasi yang
terparah adalah desa Rubung Buyung, Desa Pundu, Kuala Kuayan. DAS
Katingan seperti Tumbang Samba, Kasongan dan Mendawai. Di DAS Seruyan
sedikitnya 4 desa terendam banjir termasuk di Kuala Pembuang ibukota Kabupaten Seruyan
tidak terlepas dari rendaman banjir.
Apabila melihat ekskalasi dan lamanya bencana banjir
yang terjadi di berbagai lokasi di kalimantan tengah sepanjang tahun 2010
ini menunjukan korelasi yang sangat erat dengan wilayah
tekananan eksploitasi sumber daya alamnya yang sangat tinggi
terutama DAS Barito karena banyaknya eksploitasi tambang, HPH dan
konversi hutan untuk perkebunan sawit. DAS Kahayan akibat penambangan
emas di wilayah hulu, konversi hutan untuk sawit dan HTI, DAS Katingan,
DAS Mentaya dan DAS Seruyan merupakan wilayah yang menjadi wilayah kosentrasi
perijinan perkebunan sawit dan tambang.
Seluruh takanan eksploitasi yang menghancurkan hutan,
fungsi hidrologi dan pengelolaan lingkungan yang menggunakan bahan kimia ini
akan berpengaruh pada wilayah resapan air dan kualitas air yang mengairi
seluruh DAS di kalimantan tengah. Selain bencana banjir hal ini mengancam
penduduk kalimantan tengah untuk memperoleh kualitas air bersih karena tingkat
kekeruhan dan kualitasa air yang terpangararuh oleh rusaknya hidrologi akibat
deforestasi hutan serta limbah domestik dan kimia dari pabrik pengolahan CPO,
jutaan kubik racun pestisida dan pupuk, mercuri (HG) dan limbah ikutan yang
kesemuanya akhirnya akan berunjung dan mengairi sungai di kalimantan tengah dan
mengancam jutaan penduduk yang bermukim di sepanjang DAS dan mengandalkan
sungai sebagai sumber penghidupan mereka.
Pada sepanjang tahun 2011 kebakaran hutan
menjadi salah satu santapan bencana ekologi yang terjadi di kalimantan
tengah dimana titik api mencapai hingga 589 titik api pada periode
juni-september 2011 yang tersebar di wilayah kalimantan tengah terutama
kabupaten Kapuas, Pulang Pisau, Kota Palangkaraya, Kotawaringin timur dan
Seruyan yang merupakan wilayah gambut yang terdegadasi dan
kantong-kantong sebaran izin perkebunan sawit. Dari pemnatauan meluai satsiaun
BMG kalteng, Tingkat Indeks standar pencemaran udara (ISPU) sudah tidak sehat
dengan batas ISPU antara 101-199 terjadi di bulan September 2011. Hal ini juga
meningkatkan kasus penderita penyekit Infeksi Saluaran Pernapasan Akut (ISPA)
di kalteng terutama di 3 Kabupaten Kotim, Kobar dan Kapuas. Selain itu akibat
kebakaran hutan ini juga mengakibatkan kabut asap yang sempat menggangu
penerbangan terutama jadwal penerbangan pada pagi hari di bandara Tjilik Riwut
Palangkaraya.
Rakyat kecil menjadi korban kriminalisasi untuk
memperjuangkan hak kontitusi atas tanah yang di rampas oleh perusahaan
Ditengah ketidak adilan distribusi sumberdaya
alam dan agraria yang terjadi di kalimantan tengah, pihak yang paling di
rugikan dan menjadi korban adalah masyarakat yang mencoba memperjuangkan
hak-hak kontitusinya utuk mempertahan hak tanah yang di rampas oleh investasi.
Masyarakat yang berjuang dan melakukan upaya perlawanan justru di jadikan
korban dan di kriminalisasi oleh aparat kepolisian bahkan sudah 8 orang yang di
vonis bersalah oleh pengadilan padahal mereka sedang memperjuangkan hak katas
tanahnya.
Hal ini menunjukan bahwa aparat penegak hukum di mulai
dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sudah menjadi satu bagian yang tidak
terpisahkan (setali tiga uang ) dalam menjerat masyarakat yang sedang melakukan
perjuangnanya. Pasca di cabutnya pasal 21 dan 46 UU perkebunan oleh mahkamah
konstitusi pada bulan september tahun 2011 bukan berarti bahwa masyarakat
langsung bisa terhindar dari upaya kriminalisasi. Aparat kepolisian dengan
cerdiknya masih menggunakan pasal KUHP untuk menjerat masyarakat. Salah
satunya adalah kasus kriminalisasi aparat desa biru maju yang sedang
memperjuangkan tanah transmigrasi yang di rampas oleh PT. Buana Artha
Sejahtera ( Sinarmas Grup ) yang justru belum memiliki legalitas secara
hokum atas perijiananya karean belum meliki ijin pelpasan kawasan hutan dan
belum memiliki HGU. Setelah kepala desa Purnomo dijebloskan kepenjara dan di
vonis 8 bulan penjara, giliran sekertaris desanya Bapak Mulyani Handoyo di
tangkap secara tidak prosedural. Pada awalnya Bapak Mulyani Handoyo
langsung ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal 47 ayat (1) Jo pasal 21 UU
Perkebunan tanpa ada bukti pendukung yang kuat oleh pihak polres kotawaringin
timur. Dalam perkembangannya pasca di cabutnya pasal tersebut dengan mudahnya
pihak kepolisian mangganti pasal yang bekerja sama dengan pihak kejaksaan
dengan pasal 362 KUHP tentang pidana pencurian tana melui proses penyidkan yang
bru namun memaksakan mengunakan satu berita acara pemeriksaan (BAP) yang
sama. Hal ini menunjukan bahwa kasus kriminalisasi ini merupakan pesanan dari
pihak perusahaan dalam rangka menundukan perlawanan masyarakat biru maju yang
sedang meperjungkan hak atas tanahnya. Padahal sebelumnya masyarakat Biru Maju
sudah melaporkan perampasan tanah yang di lakukan oleh perusahaan PT. BAS
kepada pihak kepolisan namun tidak ada tindakan hukum yang dilakukan oleh parat
kepolisian.
Melihat kondisi ini perjuangan atas tanah masih akan
mejadi jalan terjal untuk meperoleh keadilan diaman buruh konsolidasi
yang kuat dan terus menerus oleh masyarakat untuk mendapatkan keadilan dan
bebas dari ancaman perampasan tanah di Kalimantan tengah. Sementara kebijakan
Pergub 13 Tahun 2009 tentang tanah adat masih jauh dari harapan untuk
melindungi tanah-tanah adat dari ancaman perampasan tanah oleh invetasi sawit
dan pertambangan karena struktur adat yang ada sudah sangat rapuh dan
dihancurkan oleh kekuasaan sejak jaman orde baru dan penetrasi modal yang
mengajarkan tentang pragmatisme dan individualistik di tingkat masyarakat
adat. Solidaritas dan kolektvitas yang merupakan roh komunal masyarakat
adat sudah sulit di konsolidasikan karena kepentingan politik dan elit
masyarakat yang telah mencerai beraikan persatuan budaya dan hukum adat. Hal
yang paling hakiki bagi masyarakat adat tentang wilayah dan tanah
adatnya (unsetral domain) sudah di kaburkan dan di kangkangi oleh
struktur organisasi dan kewilayahan adminstrasi negara sehingga kedaulatan atas
tanah tidak akan pernah terwujud tanpa ada perjuangan yang datang dari
masyarakat adat untuk memastikan pengakuan yang tulus atas wilayah adat sebagai
sumber penghidupannnya.
Prediksi kerusakan lingkungan tinggi dan konflik yang
tinggi atas praktek “keruk habis” dan konversi hutan serta kebijakan PP
Nomor 32 tahun 2011 tentang MP3EI.
Kerusakan lingkungan dan bencana ekologi akan masih
terus mengancam dikalimantan tengah karena ijin konsensi yang ada telah
mengusai 78 % dari total wilyah kalteng diluar taman nasioanal dan hutan
linduang yang tidak bisa di akses oleh masayarakat. Ijin konsesni
tersebut merupakan ancaman seriuas bagi kebrlajutan lingkungan dikalimanta
tengah karena model keruk habis sumberdaya alam meluai metode konversi hutan
seperti perkebunan sawit yang monokultur dan membutuhkan lahan yang luas akan
menghancurkan bentang alam dan kubah gambut di kalimantan tengah begitu
pun juga praktek pertambangan dengan metode tambang terbuka (open pit ) yang
terkosentarsi di wilayah tagkapan air di daerah hulu pulau Kalimantan
yang merupakan kawasan ekologi penting dan sumber penghidupan dan mata air bagi
beberap DAS di Kalimantan tengah. Prediksi kedepan bencana ekoalogi dan
keruskan lingkunagn seperati kebakaran hutan dan gambut, bencana banjir dan
pencemaran lingkungan oleh limbah-limbah pabrik terutama wilayah danau
dan sungai-sungai dikalimantan tengah.
Sementara konflik social akan terus menerus terjadi
karena pengusaan lahan yang di berikan ijin oleh pejabat daerah yang sudah
menguasai hampir setiap wilayah kelola masyarakat di kalimantan tengah. Konfik
lahan akan meningkat seiring dengan pembukaan lahan oleh perkebunan dan
pertambangan yang merampas tanah-tanah masyarakat lokal / adat. Perda tentang
masyarakat adat belum bisa menjamin atas perlindungan hak-hak adat karena
lemanhnya infrastuktur organisasi dan kapsiats pengurus adat dan semakin
tergerusnya budaya komunal akaibat penetrasi modal yang menghancurkan
sendi-sendi kehidupan masyarakat adat di kalimantan tengah. Disisi lain UU
pengadaan tanah yang merupakan pesanan investasi dan pihak asing menjadi
ancaman serius karena tanah adat dan wilayah kelola masyarakat akan
terancam digusur dan di rampas atas nama investasi dan kepentingan umum.
Salah satu kebijakan yang paling berbahaya
adalah kebijakan Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2011 tentang
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembagunan Ekonomi Indonesai (MP3EI) dimana
Kalimantan di jadikan koridor ekonomi sebagia pusat Produksi dan pengembangan
hasil tambang dan lumbung energi nasional menjadinacaman serius bagi
keberlajutan lingkungan dan keruskan ekologi serta permepasan tanah bagi
masayrakat di kalimant tenrmasuk di kalimanta tengah. Dalam kebijakan tersebut
kalimantan di gelontorkan dana yang sangat besar senilai 128 triliun
untuk membangun infrastuktur jalan, pelabuhan dan rel kereta api
yang semuanya bertujuan untuk mempermudah arus angkutan sumberadaya alam dan
mempercepat ekploitasi dan pengerukan kekayan alam di Kalimantan. Trend kedepan
dimana prediksi cadangan batu bara di kaltim dan kalsel yang akan habis 20-30
tahun tahun kedepan, sehingga pengerukan akan di arahkan ke kalimantan tengah
dan Kalimantan barat dimana cekungan melawi yang kaya akan sumberdaya
alam dan mineral akan di persiapkan untuk di eksploitasi.
Kondisi ini sudah di persiapkan oleh perusahaan multi
nasioanal seperti BHP Biliton yang mengusai 7 konsensi seluas 362.733 ha
(PKP2B) di Kabupaten Murung Raya dan PT. Kalimantan Surya
Kencana seluas 120.900 ha (Kontrak Karya) di kabupaten gunung
mas, katingan dan murung raya yang merupakan anak perusahaan Kalimantan
Gold Corporation. Ltd sudah sudah melakukan kongsi dengan Freeeport Mc
Moran-Exploration. Ltd yang akan mengusai 75 % saham setelah menginvestasikan
US$7 juta.[6] Selain dua raksasa tersebut juga di kabupaten
Lamandau ada ijin miliki PT. Kalimantan Mineral Eskpolration seluas
290.100 ha yang merupakan anak perusahaan Rio Tinto.Ltd.
Di wilayah Kabupaten kapuas di bekas kawasan eks PLG
terdapat persahaan asing yang siap mengeksploitasi wilayah ini untuk energi gas
metana batubara (CBM) oleh 3 perusahaan dibawah bendera perushaan muti
nasional British Proteleum dari inggris. Perusahaan tersebut antar
lain Konsorsium PT Transasia CBB-BP Kapuas I Limited, Konsorsium PT
Kapuas CBM Indonesia-BP Kapuas II Limited dan Konsorsium PT Gas Methan Utama-BP
Kapuas III Limited. Ketiga konsoroium perushaan ini adalah bagian dari 14
kontrak kerja sama (KKS) baru yang di tandatangai oleh pemerintah Indonesia
melalui kementrian ESDM dengan komitmen investasi mencapai US$ 68,95 juta dan
bonus tanda tangan USD 16,9 juta. KKS baru itu terdiri dari 9 KKS gas metana
batu bara (CBM) dan 5 KKS WK migas[7].
Sebagai upaya kamuflase di sekitar wilayah konsensi
tersebut telah di jadikan jualan bisnis konservasi yang dikuasi oleh NGO
International yang juga bertujun untuk mangamankan cadangan energi
kedepan dengan dalih perlindungan lingkungan dan kawasan lindung yang di
bungkus dengan kebijakan green ekonomi.
Kenyataan tersebut mengambarkan bahwa pengerukan
sumberdaya alam dan pengusuran ruang sebagai sumber penghidupan rakyat akan
semakin massif terjadi kedepan di kalimanta tengah. Kepentingan investasi
asing yang didukung oleh kebijakan pemerintah yang sudah terbeli oleh kekuatan
modal tidak bisa lagi dijadikan harapan untuk memperjuangkan
kepentingan rakyat dalam pencapaian kesejahteraan sebagai mana mandat
undang-undang dasar pasal 33 dimana bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh
negara untuk sepenuhnya kesejahteraan rakyat.
Tidak ada cara selain terus bersuara dan melakukan
perlawanan atas kebijakan yang tidak ramah lingkungan dan mengancam ruang hidup
rakyat dengan terus menerus mengkonslidasikan diri bersama masyarakat
adat/ lokal, buruh tani dan kaum miskin kota lainya sebagai bagian terbesar
dari populasi di indonesia untuk melawan segelintir orang yang rakus yang telah
menguasai dan menghisap tenaga produksi dan merampas tanah-tanah yang ada di
kalimantan tengah.
###
[1]
http://af.reuters.com/article/energyOilNews/idAFSGE67N0D920100824?sp=true
[2] kementrian ESDM 2011
[3] kementraian kehutanan 2011
[4] Laporan Audit BPK dari hasil pemeriksaan
semester II tahun anggran 2008 atas menjeman hutan yang terkait dngn kegitan
inventaris hutankawasa hutan, mitigasi perubahn iklim dan perizinan pemanfatan
hutan dan pengunaan kawasa hutan.
[5] http://metrotvnews.com/read/news/2011/06/14/54699/Alih-Fungsi-Hutan-di-Kalimantan-Rugikan-Negara-Rp240-5-Triliun
[6]http://www.kalimantan.com/s/PressReleases.asp?ReportID=465456&_Title=Kalimantan-Gold-Appoints-Commissioner-to-Subsidiary,
http://www.bisnis.com/articles/kongsi-kalimantan-gold-and-freeport-terbentuk
[7]
http://www.esdm.go.id/siaran-pers/55-siaran-pers/4330-penandatanganan-kontrak-kerja-sama-migas-tahun-2011.html?tmpl=component&print=1&page=
0 komentar:
Posting Komentar