BAB I
Substansi Perda Kalteng No. 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalteng dan Pergub Kalteng No. 13 tahun 2009 tentang Tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah

Berawal dari hasil Musyawarah Nasional II Dewan Adat Dayak Se- Kalimantan tanggal 2-5 September 2006 di Pontianak, maka telah terbentuk Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang mengatur Hirarki dan sistem koordinasi Organisasi Masyarakat Adat Dayak untuk bersinergi, mulai dari Majelis Adat Dayak Nasional, Dewan Adat Dayak Provinsi, Dewan Adat Dayak Kabupaten/Kota, Lembaga Pemangku Hukum Adat (Kedamangan), Dewan Adat Dayak Kecamatan Dan Adat Dayak Desa/Kelurahan dan ditambah dengan  Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah Nomor 14 Tahun 1998 tentang Kedamangan di Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah, yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan Daerah Otonom,sehingga perlu disempurnakan, maka terbitlah  Peraturan Daerah Kalteng No. 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalteng.  Akan tetapi, Peraturan Daerah No. 16 tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah ini juga tidak lepas dari berbagai kekurangan, perda ini mengandung ketidakjelasan wewenang dan fungsi antara Damang sebagai Kepala Adat dari Kelembagaan Adat Komunitas, dengan pemerintah. Hal ini dapat menyebabkan adanya tumpang tindih otoritas di komunitas. Selain itu, tidak terdapat aturan tentang peningkatan kapasitas Damang dan Lembaga adat, untuk mampu mengelola Kelembagaan Adat untuk berhadapan dengan berbagai intervensi dari luar.
Berbicara tentang Peraturan Gubernur No 13 Tahun 2009  maka tidak akan lepas dari ketentuan Pasal 36 dan Pasal 44 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Adat Dayak di  Tengah, yang mana menjadi dasar keluarnya ketetapan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah tentang Tanah Adat dan Hak-Hak  Adat Di Atas Tanah Di Provinsi Kalimantan Tengah. Tujuan utama dari ditetapkan Peraturan Gubernur ini adalah untuk menginventarisir tanah adat yang di miliki oleh masyarakat adat di Provinsi Kalimantan Tengah. Akan tetapi, Peraturan Gubernur No. 13 tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat di Atas Tanah di Propinsi Kalimantan Tengah ternyata tidak serta merta menjamin Hak-Hak Kolektif Masyarakat Adat atas ruang dan wilayah, karena hanya bertumpu pada hak atas tanah secara individual. Lebih jauh lagi, Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No 13 Tahun 2009 ini tidak disertai dengan petunjuk pelaksanaan dan pendanaan untuk implementasi di lapangan.
Definisi dayak  dalam berbagai perpustakaan, terdapat keragaman penyebutan penduduk asli pulau Kalimantan ini. Julipin (1987) dan Widjono (1998) menyatakan setidaknya terdapat empat sebutan yakni “Daya, Dyak, Daya dan Dayak”. Pada hal mereka lebih mengenal dirinya sendiri sebagai Benuaq, Kenyah, Punan, Bahau dan lainnya, yang sebutan itu berdasarkan nama stammenras, atau tempat tinggal dari kelompok. Senada dengan itu, menurut Zulkarnaen (2000) mereka pada mulanya tidak mengidentifikasinya sebagai Dayak. Dayak adalah label yang diberikan oleh kelompok lain. Diri mereka sendiri umumnya mengidentifikasikan nama suku, yaitu dengan menyebutkan nama sungai mereka bermukim. Anyang (1996) menyebut nama Dayak ”Taman” sebagai istilah untuk menunjukkan keseluruhan masyarakat suku ini yang menghuni daerah.  Pada hal menurut  Mjoeberg (dalam Coomans, 1987) bahwa nama Dayak merupakan nama bagi segala penduduk lain di pedalaman, yang tidak beragama Islam, sedangkan Coomans (1987) mengartikan Dayak itu adalah orang yang mendiami daerah hulu sungai. Coomans mencontohkan dalam beberapa bahasa daerah “Dayak” itu berarti hulu, seperti Mahakam Dayak yang artinya Mahakam Hulu. Demikian menurut bahasa Benua, Tunjung, dan Kutai. Arti yang sama juga di temukan pada beberapa bahasa daerah di Kalimantan Tengah. Tetapi ada juga yang memberi pengertian lain bagi kata “Dayak”, diantaranya Tjilik Riwut mantan Gubernur Kalimantan Tengah yang menyatakan bahwa kata “Dayak” berarti cantik dan gagah perkasa tidak kenal menyerah (Idram, 1989).
Definisi masyarakat dayak, Sekelompok masyarakat yang hidup berdasarkan asal usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat. Kalimat yang pendek ini merupakan hasil keputusan para pemimpin komunitas masyarakat adat di nusantara dan peserta Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) yang pertama pada bulan Maret 1999. Adapula yang mengatakan bahwa Masyarakat adat merupakan suatu kesatuan masyarakat yang bersifat otonom, yaitu mereka mengatur sistem kehidupannya (hukum, politik, ekonomi,dsb). Ia lahir dari, berkembang bersama, dan dijaga oleh masyarakat itu sendiri.  Masyarakat adat juga dikatakan sebagai masyarakat satuan komunitas terkecil yang mampu mengurus dirinya sendiri, tidak “menaklukan-ditaklukan“ sebagaimana proses pembentukan kerajaan atau negara; dan biasanya memiliki ciri – ciri berikut (meskipun tidak mutlak:). Dalam Konvensi ILO dan Deklarasi ini sendiri disebutkan bahwa identifikasi diri sendiri dari masyarakat merupakan kunci dalam menempatkan sebuah entitas sosial sebagai masyarakat adat.
Dalam Konsepsi hukum tanah adat yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat Indonesia, yang mengedepankan keseimbangan antara “kepentingan bersama” dengan “kepentingan perseorangan”. Pemilikan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan keselarasan. Dalam Peraturan Daerah Nomor 16 tahun 2008 dan Peraturan Gubernur Kalteng No 13 tahun 2009, yang menjadi ruang lingkup tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah Kedamangan dan atau di wilayah desa/kelurahan yang dikuasai berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun bukan hutan dengan luas dan batas-batas yang jelas, baik milik perorangan maupun milik bersama yang keberadaannya diakui oleh Damang Kepala Adat.
Ruang lingkup hak adat atas tanah, bisa dilihat dalam bentuk hukum penguasaan tanah pada masyarakat adat dikenal dengan hak atas tanah adat. Ini merupakan istilah yang digunakan secara formal, walaupun sesungguhnya pada setiap etnik maupun suku istilah yang digunakan berbeda-beda. Dalam Kitab Undang-Undang Perdata, ruang lingkup Hak atas tanah dalam hukum adat dapat dibagi sebagai berikut
a.     Hak persekutuan hukum, yaitu hak ulayat, termasuk di dalamnya :
Ø  Hak-hak perseorangan, yaitu diantaranya :
·       Hak pembukaan tanah
·       Hak untuk mengumpulkan hasil hutan
b.            Hak milik
c.            Hak memungut hasil tanah
d.            Hak wenang pilih/hak pilih lebih dahulu
e.            Hak wenang beli
f.             Hak pejabat adat

Pada saaat ini, adat istiadat dayak semakin lama semakin tergerus hilang. Hal ini dapat di buktikan dengan lebih tertariknya anak muda dengan hal yang berbau modernisasi. Untuk mengatasi hal inilah, maka pemerintah daerah mencoba untuk mulai memasukan kurikulum lokal mengenai adat kalimantam, seperti bahasa dayak, lagu dayak, kerajinan dayak. Akan tetapi dalam hal pendidikan bersifat menengah keatas, seperti pendidikan kilat bagi Calon Pegawai Negeri Sipil hal ini masih belum terlaksana. Ini menunjukan bahwa pemerintah daerah masih belum memikirkan tentang pelestarian adat istiadat melalui program pemerintah.  
Pada perkembangan zaman ini, semakin sedikit masyarakat adat yang tau apa saja yang termasuk dalam kewajiban masyarakat dayak. Kewajiban masyarakat dayak terbagi dalam dua hal, yakni kewajiban sosial dan kewajiban moral. Ada beberapa hal yang menjadi pokok dalam melaksanakan kewajiban ini bagi masyarakat hukum adat. Berbicara tentang kewajiban sosial, Teras Narang dalam pidatonya pada pertemuan MADN mengatakan bahwa masyarakat hukum adat harus bisa menjaga tatanan sosial kemasyarakatan di dalam masing-masing komunitas adatnya. Tetapi juga tidak lantas melupakan kewajiban moral, yaitu menjunjung tinggi falsafah Belum Bahadat Huma Betang yang menjadi landasan riil bermasyarakat, seperti semboyan Masyarakat Adat Dayak Nasional “Adil Katalino Bacuramin Kasaruga, Basengat Kajubata”
Berbicara tentang kewajiban pendaftaran tanah, maka pasti berbicara tentang pemberian jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan salah satu tujuan diundangkannya UUPA, dapat terwujud melalui dua upaya : pertama, karena memerlukan perangkat hukum yang tertulis, lengkap, dan jelas yang dilaksanakan dengan konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuannya, sehingga perlu untuk membuat Peraturan perundang-undangan yang diperintahkan oleh UUPA yang sesuai dengan jiwa dan asas UUPA, kedua, dan tidak hanya sampai disitu saja, untuk menghadapi kasus-kasus kongret dibidang pertanahan, pemberian jaminan kepastian hukum belum dapat diwujudkan hanya dengan tersedianya perangkat hukum yang memenuhi persyaratan, tetapi juga dibutuhkan pendaftaran tanah yang memungkinkan para pemegang hak atas tanah untuk dengan mudah membuktikan haknya atas tanah yang dikuasainya. Pendaftaran tanah merupakan kewajiban negara yang dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan Nasional dengan dibantu Pejabat-pejabat lain seperti PPAT, sesuai dengan yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Untuk itu perlu diketahui mengenai peran dan tanggung jawab PPAT dalam rangka pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah, karena banyak PPAT yang tidak memahami serta mengabaikan peran dan fungsi jabatannya dengan melakukan pelanggaran-pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan.
Ahli waris adalah orang yang menerima harta warisan atau harta peninggalan dari pewaris. Adapun  sistem Kewarisan dalam hukum adat waris dapat dibagi lagi menjadi tiga yaitu :Sistem Kolektif yaitu harta peninggalan tidak dibagi-bagi kepada ahli waris tetapi semua dapat menikmati hasilnya yang merupakan harta budel / harta pustaka dimana semua para waris dapat menikmati namun pengurusnya ditunjuk satu orang dan tidak ada yang boleh memiliki secara pribadi, Sistem mayorat yaitu harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi diserahkan kepada anak tertua untuk mengolah dan memberikan hasil-hasilnya kepada waris lainnya, misalnya kepada adik-adiknya, Sistem individual yaitu harta warisan dapat dibagi-bagi kepada para waris dan dapat menjadi hak milik pribadi sehingga dapat melakukan transaksi apapun terhadap harta warisan tersebut, sistem individual ini terdapat dalam BW atau hukum perdata dan KHI (kompilasi hukum islam).
Sertifikasi Tanah adat, menurut Perda Kalteng Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak, merupakan tanah beserta isinya yang berada di wilayah kedamangan, desa, kelurahan yang dikuasai berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun bukan hutan dengan luas batas yang jelas.  Tanah adat tersebut dapat menjadi milik perorangan maupun milik bersama yang keberadaannya diakui oleh damang (kepala adat) setempat. Pada masa kepemimpinan ke dua Gubernur Kalteng, Bapak Agustin Teras Narang mengatakan tujuan dari pada Pergub tentang tanah adat ini adalah untuk menginventarisir dan identifikasi mana saja tanah adata miilik masyarakat yang belum memiliki surat menyurat sehingga bisa disertifikasi di Badan Pertanahan, sehingga masyarakat tidak kehilangan hak atas tanah nenek moyang mereka.








BAB II
Peluang dan Tantangan Perda No.16/2008 dan Pergub No.13/2009
 Kalimantan Tengah
A.     Peluang Masyarakat Adat Kalimantan Tengah dalam Mendapatkan Haknya
Ada beberapa peluang bagi masyarakat Adat Kalimantan Tengah sejak hadirnya dua peraturan tentang Adat yaitu PERDA No.16/2008 Jo No.1 tahun 2010  tentang kelembagaan Adat dan PERGUB No.13 tahun 2009 tentang tanah adat dan hak-hak adat diatas tanah. Sesuai dengan tata urut Perundang-Udangan No.12/2011, Peraturan Daerah diatur di pasal 7 huruf f menyatakan Peraturan Daerah Provinsi yang mempunyai kekuatan hukum seperti termuat dalam pasal 8 ayat 2 Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Permasalahan yang sering muncul dialami oleh masyarakat adat adalah mengenai tanah dan hutan, dimana kedua pokok permasalahan ini tidak jarang memakan korban akibat aturan yang tidak berpihak kepada masyarakat adat. Dalam ruang lingkup pertanahan Indonesia mempunyai peraturan yang dipakai ialah Undang-Undang Pokok Agaria No.5/1960. Didalam UUPA ada mengatur tentang ruang bagi masyarakat adat yaitu Pasal 3 UUPA menyatakan sebagai berikut:
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Pasal 5 yang menyebutkan bahwa: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang didasarkan atas persatuan bangsa”.  
Definisi tanah ulayat baru dapat kita temui dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (“Permeneg Agraria No. 5 Tahun 1999”), yang menyebutkan bahwa Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Sedangkan, masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Dibidang Kehutanan No.41 tahun 1999 masyarakat adat juga diakui seperti termaktub pada Pasal 1 angka 6: “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Sayangnya, pasal ini masih belum menunjukkan pengakuan hak komunitas adat atas sumber daya alam dalam wilayahnya, karena ternyata hutan adat masih diklaim sebagai  hutan negara, seperti dipertegas lagi dalam pasal 5 ayat (2), bahwa: “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat”; dan bahwa “Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (pasal 1 angka 4).
Pasal 67  ayat (2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sejumlah daerah telah membuat landasan yuridis untuk masyarakat adat didaerahnya masing-masing dengan semangat otomi daerah diantaranya :
1.      Perda Nomor 03 Tahun 2004 Tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Di Nunukan Kaltim
2.      Peraturan Daerah Kota Ternate Nomor 13 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Hak-Hak Adat Dan Budaya Masyarakat Adat Kesultanan Ternate
3.      Peraturan Daerah Kabupaten Muara Enim Nomor 2 Tahun 2007 T E N T A N G Lembaga Adat Marga
Kewenangan untuk menyusun Peraturan Daerah setelah otonomi daerah membuat jumlah Peraturan Daerah sampai dengan pertengahan 2002 melonjak tinggi, yakni mencapai 6000-an yang diterbitkan oleh 368 kabupaten/kota di Indonesia. Dari jumlah Peraturan Daerah tersebut, 761 diantaranya dibatalkan dan masih ada 200 Peraturan Daerah yang masih dalam proses review di Kementrian Dalam Negeri. Peraturan Daerah yang dibatalkan tersebut pada umumnya Peraturan Daerah yang mengatur pajak daerah dan retribusi daerah karena dinilai berpotensi mendistorsi aktifi tas perekonomian. Selain itu, terdapat berbagai Peraturan Daerah yang kontroversi dan bermasalah pada tingkat implementasinya di tengah masyarakat terkait dengan Hak Asasi Manusia, diskriminasi, kesetaraan jender, pencemaran lingkungan dan sebagainya.[1]
Sedangkan untuk Daerah Kalimantan Tengah sendiri sudah ada peraturan tentang hukum adat, dari segi kelembagaan adat dayak di atur dalam PERDA No.16 tahun 2008 Jo No.1 tahun 2010 dan tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat diatas tanah diatur dalam PERGUB No.13 tahun 2009. Seharusnya dengan adanya kedua peraturan ini masyarakat adat kalimantan tengah terbantu dalam hal memperoleh hak-haknya yang selama ini mereka masyarakat adat selalu termarjinalkan.
B.     Tantangan PERDA dan PERGUB Kalimantan Tengah mengenai Masyarakat Adat
1.     Dualisme Kepemimpinan

Pada Peraturan Daerah No 16 Tahun 2008 tentang tentang Lembaga Adat Kedemangan Pasal 8 huruf k mengenai tugas Damang Kepala Adat yaitu mengelola hak-hak adat, harta kekayaan adat atau harta kekayaan Kedamangan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik.
Damang kepala adat bersama fungsionaris lembaga kedemangan tidak berwenang mengelola hak-hak adat serta mengatur dan menetapkan kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan dan pembagian tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah di wilayahnya.
Di Kecamatan Mantangi Hulu, Damang Kepala Adat bersama fungsionaris tidak bisa menjalankan tugasnya yaitu mengelola hak-hak adat, harta kekayaan adat atau harta kekayaan Kedamangan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke rah yang lebih baik.
Pada saat ini, wibawa Damang Kepala Adat yang bersifat normative dan kekuasaan yang bersifat operatif dari lembaga adat kini telah lumpuh, sebagai contoh melemahnya penetapan nilai mahar pada perkawinan adat dan penetapan nilai jipen adat pada kasus pelanggaran hukum adat, merupakan contoh kecil dari depresiasi tersebut. Hal lain yang lebih fatal adalah kooptasi kekuatan politik terhadap Damang Kepala Adat karena adanya kepala desa yang ditampilkan sebagai penguasa tunggal tingkat desa, dari beberapa kasus kontekstual di Kalimantan Tengah pada dasarnya tugas Damang Kepala Adat yang sesungguhnya tidak terakomodir, karena memang mekanisme pemerintah desa tidak memihak kepentingan masyarakat adat.
Dalam Pasal 8 huruf k Damang Kepala Adat bertugas untuk mengelola hak-hak adat, harta kekayaan adat atau harta kekayaan Kedamangan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik. Yang terjadi sekarang adalah Damang Kepala Adat tidak bisa melaksanakan tugasnya terkait dengan pengelolaan hak-hak adat di karenakan terbentur dengan tugas Kepala Desa sebagaimana tercantum dalam pasal 14 ayat (1) dan (2) PP No 72 Tahun 2005 tentang Desa yaitu menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta membina perekonomian desa. Hal ini disebabkan karena pemerintah kabupaten dalam hal ini Bupati lebih menitik beratkan pembangunan secara nasional menggunakan ketentuan formal yang secara tidak langsung lebih memiliki power ketimbang Damang Kepala Adat.
Padahal Negara sudah mengakui adat istiadat masyarakat adat dengan dibuatnya Pergub No 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat Atas Tanah yang merupakan turunan dari Perda Kadamangan ini dan di pergub ini pun Damang Kepala Adat beserta fungsionarisnya diberikan tugas yang lain, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 3 yaitu Tugas para Fungsionaris Lembaga Kedamangan adalah membantu masyarakat Dayak untuk menginventarisir tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah di wilayahnya masing-masing, agar menjadi produktif dan memberi nilai tambah demi peningkatan kesejahteraan bersama. Frasa kalimat “agar menjadi produktif dan memberi nilai tambah demi peningkatan kesejahteraan bersama” sudah selaras dengan tugas dari Damang Kepala Adat. Jadi semestinya dalam menjalankan tugasnya Damang Kepala Adat harus mendapatkan dukungan dari Kepala Desa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bersama.

2.     Penegakan Hukum Adat
Pada Peraturan Daerah No 16 Tahun 2008 tentang tentang Lembaga Adat Kedemangan Pasal 9 ayat (1) huruf b fungsi Damang adalah menegakkan hukum adat dengan menangani kasus dan atau sengketa berdasarkan hukum adat dan merupakan peradilan adat tingkat terakhir.
Damang kepala adat beserta fungsionarisnya masih kesulitan dalam memberi kedudukan hukum terhadap penyelesaian perselisihan atau pelanggaran adat sebagai pengadilan tingkat terakhir
Di Kecamatan Mantangai Hulu, khususnya wilayah pilot project KFCP pernah terjadi kasus yang berhubungan dengan penegakan hukum adat sebagaimana yang di sampaikan oleh staf Yayasan Petak Danum, yakni saat tim pelaksana kegiatan KFCP mulai melaksanakan kegiatan mereka di wilayah yang di akui sebagai wilayah masyarakat adat Mantangai Hulu, pihak KFCP tidak pernah melaksanakan ritual adat Nyanggar yang menjadi keharusan dalam setiap pembukaan hutan atau pekerjaan dalam skala besar di wilayah masyarakat adat itu. Walaupun pihak Damang Kepala Adat bersama fungsionarisnya sudah menyampaikan kepada pihak KFCP tetapi dianggap angin lalu.
Lemahnya Lembaga Adat Kedemangan dalam melaksanakan penegakan hukum adat memang menjadi salah satu masalah yang membuat pihak-pihak secara jelas melanggar hukum adat tidak memiliki rasa takut maupun segan dengan peringatan-peringatan maupun seruan yang di keluarkan oleh Damang Kepala Adat dan fungsionarisnya melalui lembaga kedemangan. Adanya pemerinta desa yang secara formal lebih di akui oleh Negara sebagai yang berhak untuk menyelesaikan masalah yang ada di masyarakan menjadikan mereka sebagai pilihan utama ketika ada investor atau lembaga yang ingin berinvestasi. Atau terjadi permasalahan di lingkusp sosial masyarakat.

Dalam PP No 72 Tahun 2005 tentang Desa pasal 15 huruf c dan k menyatakan bahwapemerintah desa dalm hal ini kepala desa beserta pranatanya memiliki hak dan wewenang untuk memelihara ketentraman dan ketertiban serta mendamaikan perselisihan warga masyarakat di lingkungan desa biasanya menjadi pegangan pihak luar yang memiliki permasalahan maupun sengketa dengan masyarakat desa. Mereka cenderung memilih perangkat desa untuk menyelesaikan maslah mereka ketimbang harus berhubungan dengan lembaga adat, dalam hal ini lembaga kedemangan.

Sesungguhnya, hal itu justru menjadi sumber melemahnya kekuasaan Lembaga Kadamangan. Tidaklah tersangkal bahwa Damang Kepala Adat memainkan peranan penting dalam semua perkara yang menyangkut kehidupan masyarakat dayak setempat. Namun, de facto saat ini, arti, fungsi dan peranannya mengalami pelumpuhan. Bahkan, acapkali, keberadaannya hanya sekedar symbol formalitas. Kemudian hubungan jalur kekuasaan dalam konteks persoalan ini, antara pemimpin Lembaga Kadamangan berikut fungsionarisnya, pada zaman dahulu menciptakan komitmen total dan ketergantungan penuh pada ketaatan adat.

Ditambah lagi, dewasa ini muncul krisis kepercayaan terhadap pemimpin lembaga kadamangan ini, sehinga tak pelak berantakan pula hubungan jalur kekuasaan itu. Alhasil,orang atau badan hukum awalnya patuh dan menghormati terhadap hukum adat juga tercerai-berai, lantaran lembaga kadamangan di mata mereka tidak lagi tercitra dengan wibawa dan kekuasaan adat. Kesemuaan ini selain dipengaruhi oleh krisis kepemimpinan non formal

       3. Mempertahankan Hak Adat
Pada Peraturan Daerah No 16 Tahun 2008 tentang tentang Lembaga Adat Kedemangan Pasal 10 ayat (1) huruf b mengenai hak-wewenang Damang Kepala Adat yaitu mengelola hak-hak adat dan/atau harta kekayaan Kedamangan untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih layak dan lebih baik.
Walaupun Damang Kepala Adat beserta fungsionaris memiliki hak-wewenang untuk pemanfaaatan hak-hak adat, harta kekayaan adat dan harta kekayaan kadamangan serta mengurus dan mengatur ketentuan dalam hukum adat, terhadap hal-hal yang berkaitan dengan tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah di wilayahnya, guna kepentingan keperdataan adat, termasuk dalam hal adanya persengketaan atau perkara adat, tetapi mereka tidak memiliki hak untuk mempertahankannya.
Saat ini, perda telah menghasilkan Peraturan Gubernur No 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-hak adat atas tanah, tetapi yang terjadi di Komunitas Adat Janah Jari di Barito Timur, masyarakat adat janah jari kesulitan untuk mempertahankan hak-hak adat mereka atas tanah dan kekayaan adat lainya baik di atas maupun di bawah tanah.
Dalam pasal 10 ayat (1) huruf b mengenai hak-wewenang Damang Kepala Adat dinyatakan bahwa damang memiliki hak-wewenang mengelola hak-hak adat dan/atau harta kekayaan Kedamangan untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih layak dan lebih baik. Tetapi yang terjadi di lapangan, ketika masyarakat adat sudah mengelola apa yang seharusnya menjadi hak-hak adat mereka, pemerintah daerah dengan mudahnya mengeluarkan izin pertambangan di wilayah kelola adat mereka. Masyarakat adat sangat kesulitan untuk mempertahankan hak-hak adat mereka, harta kekayaan adat meraka serta harta kekayaan kedemangan.
Dari hal ini dapat di katakan bahwa lembaga kedemangan tidak memiliki kekuatan mempertahankan hak-hak adat mereka. Gejala melemahnya lembaga kadamangan ini juga ditandai dengan bergesernya proses pengambilan keputusan yang semula bersifat kolektif, kini cenderung individual dan terpusat pada pemimpin formal, yaitu Kepala Desa. Sesunguhnya pula, budaya musyawarah yang diwarisi turun temurun oleh masyarakat adat seperti halnya musyawarah adat rumah betang yang bersifat kolektif/egalitarian sekaligus mencerminkan proses demokratisasi di tingkat masyarakat basis, kini telah mengalami kelumpuhan ketika diberlakukannya system formal yang disebut Lembaga Musyawarah Desa.  Jadi ketika ada hal-hal yang menyangkut hak-hak masyarakat adat, selalu dikembalikan kepada kepala desa sebagai perwakilan pemerintah, tanpa ada konsultasi dengan pihak kedemangan.

4.     Pemilihan Damang Kepala Adat

Dalam Perda Lembaga Adat Dayak No 16 Tahun 2008, Bab IX tentang pemilihan dan pengangkatan damang kepala adat, Pasal 18 menyatakan pemilih adalah semua Kepala Desa dan Lurah atau Pejabat Kepala Desa dan Pejabat Lurah, semua Ketua Badan Permusyawaratan Desa, Ketua Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan, semua anggota Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Kecamatan bersangkutan dan semua Ketua Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Desa/Kelurahan wilayah Kedamangan bersangkutan.
Pernyataan di atas dimulai dari terjadinya kooptasi  oleh kekuatan politik multi-kepentingan terhadap kepentingan Damang Kerpala Adat sebagai kepala wilayah persekutuan masyarakat adat.
Dalam pemilihan Damang Kepala Adat di Seruyan, yang menjadi pemilih adalah Kepala Desa dan Lurah atau Pejabat Kepala Desa dan Pejabat Lurah, semua Ketua Badan Permusyawaratan Desa, Ketua Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan, semua anggota Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Kecamatan bersangkutan dan semua Ketua Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Desa/Kelurahan wilayah Kedamangan bersangkutan. Adanya indikasi kooptasi dan dominasi dalam pemilihan Damang Kepala Adat ini menjadikan pemilihan tersebut sarat masalah.
Pernyataan di atas dimulai dari terjadinya kooptasi  oleh kekuatan politik multi-kepentingan terhadap kepentingan Damang Kerpala Adat sebagai kepala wilayah persekutuan masyarakat adat dengan dimutlakannya Kepala Desa sebagai penguasa tunggal. Contoh kongkret proses pemilihan Damang Kepala Adat telah tercemar dengan adanya campur tangan pihak luar, tidak hanya Kepala Desa, Lurah, Ketua BPD, Kerapatan Mantir Adat tetapi sampai pada Camat dan Bupati yang selalu mengusung ketokohan pemimpin daerah.Realita lain yang tragis adalah munculnya konflik kekuasaan di mana di satu sisi Kepala Desa bertahan dengan legalitas hukum formal dan di sisi lain Damang Kepala Adat bersikukuh pada kebenaran hukum adat dan acap kali muncul campur tangan dari “atasan” Kepala Desa seperti Camat maupun Bupati, maka kekuasaan Damang Kepala Adat sungguh menjadi lumpuh.

Hal ini melahirkan krisis kepemimpinan tradisional pada masyarakat adat. Kondisi seperti ini semakin memuncak pada tersingkirnya Damang Kepala Adat terhadap akses otonomi politik serta sumber daya alam. Artinya kekuasan Damang kepala adat hanya sebatas dalam hal pelaksana upacara-upacara komunal, itu pun sesungguhnya sudah tercemar oleh kekuasaan lain. Dengan adanya intervensi perangkat pemerintah dalam pemilihan Damang Kepala Adat, maka bisa dikatakan bahwa pemilihan itu sarat dengan muatan politis dimana

Di Kalimantan Tengah, seorang Damang Kepala Adat dianggap tidak sah kalau tidak ada Surat Keputusan Bupati. Jadi, sah tidaknya Damang Kepala Adat itu bukan dari masyarakat adatnya, melainkan dari pemerintah. Dijadikannya Damang Kepala Adat sebagai alat oleh pemerintah semakin terlihat dari  Perda Lembaga Adat Dayak ini yang mengatur tentang:
1)     Inventarisasi lembaga-lembaga adat serta melakukan penataan kembali kedudukan, peranan, dan fungsi lembaga adat.
2)     Mengatur ketentuan pemberian nama dan susunan organisasi lembaga adat (MADN, DAD, Kadamangan, BPMAD).
3)     Mengatur ketentuan penginventarisasian sumber-sumber keuangan dan harta kekayaan lembaga adat.
4)     Mengatur mekanisme pelaksanaan pembinaan dan pengembangan lembaga adat.
5)     Memantapkan peranan dan fungsi lembaga adat sesuai dengan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai oleh pemerintah.

5.     Adanya Plurarisme Hukum Adat Di Kalimantan Tengah
Fakta yang terjadi dimana ditiap suku dayak mempunyai adat yang berbeda dalam hal menjalankan aktivitasnya sehari-sehari terkait juga masalah pengelolaan tanah adat. lalu hukum adat yang mana yang harus digunakan karena di dalam perda maupun pergub tidak mengatur secara pasti dan sifatnya hanyalah umum terkait-terkait hal yang menyangkut hukum adat. Ada berbagai suku dayak yang ada di kalimantan tengah dan tentunya dengan berbagai macam plurarisme hukum dayak itu sendiri.
Contoh di dearah barito dengan salah sukunya manya’an paju epat, paju sepuluh, banua lima, Lawangan ampat, lawangan paku, lawangan dusun, bakumpai perbedaanya dari segi bahasa, ada beberapa isitilah adat yang berbeda contoh disuku dayak ngaju ada proses tiwah sedang di suku manya’an itu memakai istilah wara dan juga di masyarakat adat dayu barito timur  istilah damang tidak ada yang ada ialah istilah damung. Ada beberapa kasus dimana perda kedamangan ini di tolak atau tidak diakui oleh masyarakat contohnya di kabupaten kotawaringin barat dimana sistem budayanya terafiliasi dengan kesultanan banjar maka bisa dipastikan perda No.16/2008 dan Pergub No.13 tidak mempunyai peran disana.
Problema :
Ø  adanya hetronitas hukum dalam masyarakat adat dayak
Ø  adanya perbedaan istilah atau penyebutan dalam hal hukum adat dari daerah yang satu kedaerah yang lain.
Ø  adanya adat lain selain adat dayak dan bagaimana pandangan perda dan pergub atas ini
Ø  perbenturan adat dalam satu wilayah antara adat dayak dengan adat diluar dayak
Pembahasan selanjutnya lalu bagaimana dengan orang dayak namun tidak memakai budaya mereka lagi secara asli semisal karena adanya pergeseran nilai setelah masuknya sebuah agama dalam komunitas mereka. Budaya dayak sebagaian besar tidak lepas dengan keyakinan kaharingan dan jika orang dayak sudah berpindah keyakinannya apakah mereka tidak diakui lagi sebagai orang dayak. Tentunya celah-celah ini perlu di pikirkan agar suatu homogenitas masyarakat khususnya untuk warga dayak tidak tercerai berai akibat adanya suatu peraturan.
6.     Kepastian Hukum  Tentang  Batasan Kepemilikan  Luasan Tanah Adat
Seharusnya Pergub No.13/2009 mencantumkan batasan luasan tentang tanah adat agar tanah tersebut mempunyai batas-batas yang jelas dan mudah untuk dilakukanya indentifikasi. Di realitas sosisal di budaya masyarakat adat dayak dikenal dengan tanah ayungku dimana disitu disebut dengan tanah adat dan luasanya berdasarkan arah telunjuk. sedangkan di pengaturan lain ada yang mengatakan bahwa luas tanah masyarakat adat itu, sepanjang masih terdengarnya bunyi gong, sepanjang bunyi kokok ayam dan dibatasi dengan sungai. Nah, untuk era sekarang kemungkinan batas-batas yang digunakan pasti sudah tidak relevan lagi dan perlu adanya peraturan baru yang lebih tegas berapa luasan tanah adat sebenarya baik tanah milik bersama atau tanah milik perorangan. Jika batas tanah itu tegas aturanya maka konflik-konflik mengenai tanah adat baik masyarakat dengan masyarakat sendiri atau masyarakat dengan perusahaan bisa di minimalisir.
Warga desa biru maju adalah warga transmigrasi asal jawa tengah dan jawa timur yang di fasilitasi negara mendapatkan tanah di kabupaten kotawaringin timur pada tahun 1995. warga desa biru maju dahulu dikenal dengan sebutan Padas Sebut II, warga di berikan sertipikat tanah yang diterbitkan oleh BPN namun pada kenyataanya tanah yang bersertipikat itu diokupasi oleh masyarakat desa sebabi dalam hal ini sebagai warga lokal. Mirisnya lagi Lahan LU II yang diokupasi masyarakat desa sebabi sekarang dijual kepada pengusaha lokal.
Tentunya permasalahan diatas tidak akan menimpa masyarakat desa biru maju atau masyarakat yang lain jika aturan tentang tanah adat ini dibuat secara jelas bersama dengan batas-batas luasan kepemilikan pula, demi menghindari proses monopoli tanah dan okupasi tanah terhadap tanah orang lain. Tanah adalah alat produksi untuk sumber penghidupan jika tanah telah menjadi konflik maka secara otomatis penghidupan masyarakat akan terganggu.
7.     Tidak Ada Mengatur Tentang Hutan Adat Secara Spesifik
Dimana dalam kehidupan masyarakat adat dayak erat sekali hubungannya  dengan hutan yang sering disebut hutan adat.  Ada beberapa nama tentang hutan adat di kalimantan tengah diantaranya : pahewan, keramat, tajahan dan lain sebagainya. tentunya permasalahan ini harus termuat dalam pergub namun pada realitanya pergub tidak mengatur secara spesifik apa itu hutan adat, pergub hanya mensyaratkan tentang pemamfaatan sumber daya alam yang ada diatas tanah maupun didalam tanah adat dan baik didalam hutan maupun diluar hutan. jika peraturan ini tidak ada maka masyarakat adat akan tetap kebingunan disatu sisi mereka ingin tetap menjaga budaya yang telah ada turun temurun namun disini lain masalah kepastian dalam hal mengelola agar tidak dirampas pihak lain tidak ada atau belum ada.
Hutan adat kalawa dideklarasikan dan disahkan oleh damang  pada tahun 2005, Hutan adat kalawa tertelak di kabupaten pulang pisau. Dimana pada hari ini khususnya Bupati Pulang Pisau belum bisa berbuat banyak akan keberadaan hutan ini, dimana Bupati selalu berkilah bahwa tidak ada pengaturan mengenai hutan adat. Jika Pergub No.13 mengatur secara spesifik tentag hutan adat maka bisa dijadikan sebagai payung hukum atas keberadaan hutan adat kalawa tersebut. Padahal Undang- Undang No.41 tentang Kehutanan mesyaratkan bahwa hutan adat dapat diberikan oleh negara jika masyarakat adatnya masih ada, dengan batas wilayah yang jelas serta komunitasnya dan untuk eksistensi masyarakat adat diatur dalam peraturan daerah. menelisik dari peraturan dearah lain yaitu di papua maupun di bungo bahwa masalah hutan adat diatur secara spesipik mengenai fungsi, pengelolaan dan lain sebagainya.
Contoh kasus kedua adalah hutan adat yang diakui oleh masyarakat adat dayu dimana poisinya pada hari ini sedang berkonflik dengan perusahaan yang bergerak dibidang sawit, padahal masyarakat dayu telah memamfaatkan kawasan hutan tersebut untuk berkebun dan sebagainya untuk dijaga kelestarianya namun tetap saja diserobot oleh perusahaan berdasarkan surat ijin lokasi bupati barito timur.
Karena tidak adanya pengaturan secara khusus mengenai hutan adat maka permasalahan hutan di kalimantan tengah tidak kunjung usai. Disatu sisi masyarakat adat ingin mempunyai sebuah ritual yang ada dihutan dan mempunyai aktivitas yang ada didalamnya untuk memebuhi kehidupan sehari-sehari mereka. Namun disisi lain dengan adanya investasi yang kian masiv di kalimantan tengah dengan isyarat lain harus menyediakan lahan kepada pihak investor. bagaikan dua sisi mata koin yang berbeda satu sama yang lainya, akhirnya di masyarakat tidak jarang terjadi perbedaan pandangan dimana ada yang ingin menjual untuk merubah taraf hidup secara cepat dan sisi lain ingin tetap mempertahankan tanah tersebut.
8.     Tidak Mengatur Tentang Penyelesaian Konflik Tanah Adat Dengan Perusahaan
Menurut penuturan dari sekda kalimantan tenggah bapak siun jarias ada ± 300 kasus sengketa tanah adat baik berupa hutan maupun tanah adat secara perorangan dilaporkan berkonflik dengan perusahaan.  Motif  yang paling banyak adalah penyorobatan lahan, pengerusakan kebun, belum adanya ganti rugi lahan dan sebagainya. Salah satu fungsi dari sebuah peraturan adalah untuk menjaga atau melindungi tentang hak-hak masyarakat adat khususnya dibidang pertanahan. Namun mekanisme penyelesaian sengketa lahan tidak diatur secara tegas mengenai sanksi untuk memperkuat hak-hak masyarakat adat.
Berdasarkan tujuan Pergub No.13 pasal 2 ayat 2 bahwa pengaturan tanah adat dan hak-hak adat diatas tanah diselengarakan untuk : a. melindungi, mengakui dan menghargai hak masyarakat adat, b.melestarikan adat yang hidup dimasyarakat ., c. menunjang keberhasilan pembangunan kelancaraan jalannya pemerintahan dan, d. memperjelas kepemilikan , penguasaan dan pemamfaatan tanah adat dan hak-hak adat diatas tanah.
9.     Tidak Mengatur Tentang Peradilan Adat
Lebih mengarah pada bagaimana mekanisme kompalin yang harus dilakukan masyarakat jika terjadi konflik khususnya masalah tanah adat. jika didalam pergub ada mengatur tentang pembentukan team penyelesai konflik maka mereka seharusnya mempunyai sebuah wadah. fungsi lain dari sebuah peradilan adat  adalah sebagai penguatan terhadap hukum adat itu sendiri dimana dengan adanya peradilan maka sanksi adat bisa berjalan dengan baik.
Sidang adat Tamrin Amangola bisa menjadikan sebuah study kasus dimana prof. ilmu antropologi dari Universitas Indonesia ini didakwa telah menghina masyarakat adat dayak dalam status keterangannya sebagai saksi ahli atas kasus video porno ariel. Tamrin A pada intinya menyatakan bahwa hubungan badan antara laki-laki dan perempuan disebagian masyarakat adat itu disahkan contohnya yang ada di budaya dayak. tentunya statmen ini memancing emosi para warga dayak sekaligus menegaskan bahwa  Tamrin A tidak menghormati budaya adat orang dayak. Jika dilihat dari prespektif hukum nasional mungkin ada benarnya pernyataan sang profesor ini karena sebagian dikomunitas adat tidak menikah lewat jalur negara namun mereka menikah secara adat.
Nah, di konteks lain seandainya ada peradilan adat di kalimantan tengah yang khusus menangani kasus-kasus yang ada didalam masyarakat adat dayak maka hukum adat akan dapat ditegakan dengan secara baik, setidaknya masyarakat hukum adat mempunyai tempat untuk mengadu. memang ada kelembagaan yang telah dibentuk di kalimantan tengah sampai pada tingkatan nasional, namun hemat saya lembaga tersebut lebih mengarah kepada lembaga pemberdayaan masyarakat adat. sedangkan lembaga peradilan adat pembentukannya dikhususkan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi dimasyarakat adat.
10.Tidak Mengatur Secara Tegas Tentang Tanah Komunal/Milik Bersama
Seperti apakah tanah komunal itu, jika dalam pergub menjelaskan tentang bahwa tanah milik bersama berdasarkan warisan dari tiap keluarga lalu apa bedanya dengan tanah perorangan/perinvidu. Jika dalam pergub No.13 menyatakan tanah komunal sama kedudukan dengan tanah ulayat maka kita harus cek dulu bentuk tanah ulayat itu sendiri. melihat pada rujukan Peraturan : http://www.wgtenure.org/file/Peraturan_Perundangan/Permen_agraria_5_1999.pdf
11.Pergub Tidak Mengatur Secara Jelas Mengenai Larangan Pemindahan Hak Atas Tanah Adat
Tujuan dari pergub No.13 adalah memberi kepastian hukum terhadap hak-hak tanah adat, namun apabila tanah adat dapat dialih fungsikan atau berpindak haknya maka bisa dipastikan tidak ada lagi tanah adat. Dalam Pergub No.13 pasal 11 ayat (4) Pemegang Hak Atas Tanah Adat maupun Hak-Hak Adat Di Atas Tanah yang berstatus milik bersama, tidak dapat mengalihkan atau melepaskan hak tersebut kepada pihak lain kecuali telah ditentukan bersama berdasarkan musyawarah persekutuan sesuai ketentuan hukum adat yang berlaku. Dalam arti lain jika menyimak di ayat 4 ini maka bisa mengalihkan atau melepaskan hak atas milik bersama jika ada kesepakatan antar bersama melalui musyawarah. Nah, Jika tanah milik bersama ini dialih fungsikan dengan kata lain dijual kepihak lain tanpa persetujuan bersama lalu apa sanksi hukumnya.

Jika mengacu pada asas teori pemidanaan bahwa tujuan pemidanaan adalah sebagai : pencegah dan  dan memberi sanksi hukuman atas proses perbuatan melawan hukum yang sudah di sangkakan dan sudah mempunyai kekuatan yang kuat dari putusan pengadilan. kalau merujuk pada kasus diatas tentunnya deliknya sudah ada yaitu menyalahgunakan posisi dia sebagai damang dan unsur lain adalah merugikan masyarakat.

12.Pergub Tidak Memberikan Definisi Secara Pasti Apa Perbedaan Tanah Adat Dan Tanah Bukan Adat.
Dalam pergub bahwa tanah adat adalah tanah yang beserta isinya berada diwilayah kedamangan dan atau wilayah desa/kabupaten yang dikuasai berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun hutan dengan luas dan batas-batas yang jelas, baik milik perorangan maupun milik bersama yang keberadaanya diakui oleh Damang Kepala Adat.  Apakah tanah yang diluar  wilayah kedamangan itu yang disebut tanah bukan adat, dan bagaimana jika tanah itu sesuai apa yang dijelaskan oleh pergub namun pada faktanya telah ada konsesi untuk perusahaan.
C.      Rekomendasi:

1.      Berdasarkan pasal 15 ayat (1) huruf m yang berbunyi tugas kepala desa adalah membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat, maka Kepala desa sebagai perpanjangan tangan pemerintah tingkat terakhir sebagaimana yang di sebutkan pada UU No 34 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah maka Kepala Desa harus membuat perjanjian desa dengan Lembaga Kedemangan dengan isi bahwa kepala desa sebagai perwakilan pemerintah mengakui dan ikut serta membantu menjalankan perintah dari Perda Kedemangan No 16 Tahun 2008 serta Pergub Tanah Adat dan Hak-Hak Adat Atas Tanah No 13 Tahun 2009 demi tercapainya nilai luhur dari masyarakat adat itu sendiri.
2.      Seharusnya Perda Kedemangan memiliki sanksi yang jelas, mengikat dan memiliki kekuatan hukum yang jelas dan di akui oleh hukum nasional, sehingga tidak ada alasan bagi para pelanggar adat untuk tetap berkilah bahwa sanksi yang ditimbulkan dari Perda Kadamangan itu hanya berlaku selama lembaga adat itu ada.
3.      Damang Kepala Adat beserta fungsionarisnya berhak untuk mempertahankan dan mengelola hak-hak adat, harta kekayaan adat dan harta kekayaan kadamangan. Karena dari sejumlah pasal yang di sebutkan baik dari Perda Kedemangan No 16/2008 dan Pergub Tanah Adat No 13/2009 tidak ada menyebutkan maupun memberi kesempatan baik kepada Damang Kepala Adat maupun fungsionaris lembaga kedemangan untuk mempertahankan asset-aset adat dan melakukan pengelolaan hak-hak adat dan tanah adat sesuai dengan keperluan masyarakat adat dayak. Alasan lain kenapa hak mempertahankan dan mengelolan ini di rekomendasikan karena Damang sebagai kepala adat beserta fungsionarisnya tidak memiliki kekuatan ketika berhadapan dengan Kepala desa bersama perangkatnya ke atas beserta lembaga formal lainnya dikarenakan kooptasi politik yang berlebihan.
4.      Agar dominasi dan intervensi berlebihan dari pemerintah tidak terjadi dan untuk tidak mengurangi independensi Lembaga adat sebagai pengawal kebijakan pemerintah maka perlu di rekomendasikan agar pada pasal pemilih tersebut diubah. Jadi yang menjadi pemilih tidak saja dari unsur pemerintahan, tetapi juga bisa memasukan para tokoh masyarakat adat agar ada pembanding yang setara dalam pemilihan tersebut. Harapannya yang terpilih adalah orang yang benar-benar memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak masyarakat adat, bukan orang yang hanya memperlacar dominasi pemerintah.
5.      Tiap-tiap kabupaten membuat peraturan daerah berkaitan dengan hukum adat berserta lembaganya  sesuai dengan kondisi yang ada. Kembali mengangkat filosofi huma betang dalam sebuah peraturan yang dijadikan suatu ruh peraturan itu sendiri.
6.      Menambah satu klasul tentang batasan luasan tanah didalam pergub No.13/2009 dan kembali ke Undang-Undang No.5/1960 tentang UUPA sebagai rujukan tentang peraturan tanah adat, sesuai dengan petunjuk pergub pada pasal 5 huruf e mendorong masyarakat Adat Dayak setelah melakukan inventarisasi agar dilanjutkan dengan mendaftarkan sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria.
7.      Masyarakat adat dayak kalimantan tengah mempunyai peraturan yang mengatur secara khusus mengenai lembaga peradilan adat seperti yanga ada di provinsi papua. Contoh Perda : http://www.djpp.depkumham.go.id/files/ld/2008/papua20-2008.pdf





                                                  







[1] Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Menilai Tanggung Jawab Sosial Peraturan Daerah, hal. 3-4, Jakarta, 2009