Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai, penerapan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD+) hanya sebatas proyek, dan bukan pada penyelamatan hutan dan pengelolaan lingkungan yang berkeadilan.

"Walhi menilai sejauh ini, para pelaku dan pendukung REDD+, tidak memahami kondisi degradasi hutan dan lingkungan yang terjadi, konteks REDD+ hanya sebatas sebuah proyek dengan uang besar bukan pada bagaimana menyelamatkan hutan," kata Manajer Advokasi Hutan dan Perkebunan Skala Besar Eksekutif Nasional Walhi, Deddy Ratih di Jakarta, Kamis.

Menurut Deddy, REDD+ mengabaikan prinsip Free Prior and Informed Consent (FPIC) yaitu instrumen dalam hukum Internasional untuk melindungi hak-hak orang atau komunitas yang potensial terkena pengaruh suatu proyek pembangunan.

Ia mengatakan, pada proyek-proyek REDD+ tidak ada penyampaian awal tentang rencana proyek tersebut sebelum suatu daerah ditetapkan untuk menjadi daerah proyek percontohan REDD+.

"Hak untuk mendapatkan informasi yang memadai serta hak untuk melakukan ketidaksepakatan atas sebuah projek REDD+ di suatu daerah sampai sejauh ini tidak pernah diakomodasi dalam berbagai aktivitas penetapan sebuah kawasan `pilot project` REDD+," katanya.

Ia mengatakan, prinsip keadilan ekologis adalah memastikan adanya ruang-ruang produktif rakyat dengan keadilan distribusi lahan untuk masyarakat, adanya ruang-ruang penyokong sumber-sumber kehidupan rakyat serta terjaminnya akses dan kontrol rakyat atas sumber daya alam tidak menjadi salah satu hal yang diperhatikan.

Ia menambahkan, pelaku dan pendukung REDD+ memandang sebagai sebuah cara untuk mendapatkan uang dengan menjadikan pasar sebagai target utama, penyelamatan hutan menjadi target.

Permasalahan degradasi akut hutan Indonesia disebabkan konversi hutan menjadi kawasan non hutan tidak menjadi salah satu pemikiran penting, demikian juga emisi akibat dari praktek buruk pengelolaan lingkungan mulai dari penggunaan kawasan-kawasan ekologi penting seperti rawa gambut, taman nasional dan hutan lindung menjadi kawasan perkebunan besar dan tambang, katanya.
"Contoh seperti kasus Weda Bay, tambang di kawasan hutan lindung yang disokong oleh Bank Dunia melalui MIGA, lembaga penjaminan investasi yang dimiliki oleh Bank Dunia," ujar Deddy. Kasus lainnya adalah pembiaran terhadap pembangunan perkebuanan kelapa sawit skala besar di Rawa Tripa, Aceh. Maka diyakini proyek REDD+ tidak akan pernah menurunkan emisi dan tetap meningkatkan pemenuhan bahan baku industri ekstraktif, katanya.