Siaran Pers
PERINGATAN HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA 2012
“HUTAN INDONESIA, KITA YANG PUNYA”
Selasa, 5 Juni 2012
oleh
ANANG JUHAIDI
Koordinator PSD Walhi Kalteng


                Hutan sebagai satu kesatuan ekosistem, merupakan bagian dari struktur utama penunjang kehidupan manusia. Sejak kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, hutan hujan tropis Indonesia diperuntukan sebagai penunjang devisa negara dengan memberika hak penguasaan kepada perusahaan pembalak kayu. Seiring dengan itu ekonomi balak menjadi sebuah model yang dianut dalam perspektif pengelolaan dan pemanfaatan hutan di Indonesia. Sehingga tidak heran dalam kurun waktu 30 tahun, hutan Indonesia berkurang secara dratis dan bahkan mengalami kerusakan/degradasi yang meluas.  Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir kawasan hutan juga mengalami perubahan fungsi menjadi wilayah pertambangan dan perkebunan skala besar.

Moratorium merupakan sebuah upaya jeda eksploitasi, yang dilakukan dalam suatu periode waktu tertentu untuk menghentikan atau menunda kegiatan tertentu dan mengisi periode tersebut dengan langkah-langkah untuk mencapai perubahan yang signifikan. Usulan Moratorium atau jeda tebang hutan alam dan konversi hutan-lahan sebenarnya sudah disampaikan oleh WALHI sejak lebih dari 10 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1999, dengan mengacu pada laju deforestasi dan degradasi kawasan yang mengkhawatirkan. Dalam menjalankan moratorium tebang hutan alam dan konversi hutan, WALHI mendorong prinsip dan kriteria yang harus menjadi dasar bagi pelaksanaannya bukan model yang berbatas tahun.  Moratorium tebang hutan alam yang dimaksud disini merupakan satu skema terencana dimana tidak mengesampingkan perlunya perbaikan tatakelola hutan, perkebunan skala besar dan industri-industri pengguna lahan besar lainnya yang selama ini telah berkontribusi pada degradasi dan deforestasi.

Terbitnya kebijakan moratorium berdasarkan Inpres Nomor 10 tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut yang juga merupakan salah satu langkah dalam upaya menurunkan deforestasi dan degadasi hutan. Pada kenyataannnya Inpres ini hanya merupakan “lips service” karena banyak sekali kelemahan yang menyertai kebijakan moratorium ini. Inpres ini dari status hukumnya sangat lemah karena hanya merupakan instruksi presiden yang tidak masuk dalam struktur perundang-undangan di Indonesia sehingga tidak memiliki konsekuensi hukum yang tegas dan mengikat. Disisi lain istilah hutan alam primer tidak ada dalam istilah hukum di Indonesia Inpres ini dapat dikatakan cacat hukum dan juga mengaburkan objek moratorium tersebut. Sedangkan objek moratorium yang ada justru statusnya merupakan hutan lindung dan taman nasional yang sudah dilindungi melalui kebijakan yang lebih tinggi daripada Inpres moratorium ini. Yang paling mengkwatirkan adalah pengecualian dalam Inpres ini dimana perizinan yang sudah di terbitkan dan mendapat persetujuan prinsip dari menteri kehutanan
dan objek vital nasional tidak termasuk dalam kebijakan inpres penundaan ijin sehingga bisa dimanfaatkan untuk mempercepat pengahcuran hutan yang ada luar objek tersebut karena perijinan di Kalimantan tengah pada tahun 2010 sudah mencapai 12, 8 juta hektar yang akan sangat besar berpotensi melakukan konversi hutan yang akan mengakibatkan pelepasan emisi yang lebih besar daripada wilayah-wilayah yang masuk dalam objek moratorium tersebut, sementara di dalam objek moratorium yang merupakan hutan primer dan kawasan tersebut sudah terdapat 118 izin perkebunan sawit seluas 1,4 juta hektar dan 28 izin pertambangan seluas 205,854 hektar sisanya merupakan kawasan hutan lindung dan Taman Nasional Sebangau dan Taman Nasional Tanjung Puting menujukan wilyah yang dilindungi melalui kebijakan inpres di Kalimantan tengah cakupannya sangat kecil.

Dari seluruh proses perizinan di kalimatan tengah banyak sekali pelanggaran terhadap UU Kehutanan No.41 Tentang Kehutanan Tahun 1999 dimana perizinan tersebut banyak berada di kawasan hutan secara illegal karena belum memenuhi prosedural perizinan yang berlaku. Pelanggaran perizinan untuk perkebunan besar sawit (PBS) dari 352 izin hanya terdapat 68 Izin PBS yang sudah memiliki izin pelepasan kawasan hutan dari menteri kehutanan. Sementara untuk pertambangan dari 630 izin KP, 15  izin PKP2B dan 5 izin KK hanya 178 izin yang dinyatakan clear and clean oleh kementrian ESDM. Sementara perizinan dalam kawasan hutan terdapat 35 perusahaan yang sudah secara legal dimana status perizinannya terdiri dari 11 unit izin yang sudah mendapatkan surat persetujuan pengunaan kawasan hutan dari Dirjen Badan Planologi Kehutanan dan 14 Unit surat persetujuan prinsip pinjam pakai kawasan hutan dari kementrian kehutanan dan 14 unit yang sudah mendapatkan surat keputusan pinjam pakai kawasan hutan dari menteri kehutanan.

Temuan Pokja dari kementrian kehutanan dan satgas mafia hukum terdapat 9 perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan hutan lindung di kalimantan tengah dan 54 kasus untuk perusahaan perkebunan seluas 623.001 hektar yang telah aktif membuka kebun di kawasan hutan tanpa izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan yang tersebar di 10 kabupaten di kalimanta tengah.
Namun disayangkan temuan ini tidak pernah ditindaklanjuti dengan upaya penyidikan dan menyeret para pejabat daerah serta perusahaan ke pengadilan. Hal ini menunjukan bahwa pemerintah dan aparat penegak hukum sebagai pelaksana dan penjaga undang-undang sudah tidak mampu lagi menjalankan mandatnya untuk menertibkan pelaggaran oleh para investor justru terindikasi hanya dijadikan alat negosiasi politik untuk mendapatkan keuntungan dari situasi yang terjadi.

Dari segi kerugian negara akibat dari pelanggaran kawasan hutan yang tidak prosedural tersebut terdapat beberapa temuan yang sudah diungkapkan ke publik antara lain adalah temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap tujuh perusahaan swasta nasional di Kalimantan Tengah diduga telah merugikan Negara sebesar Rp.111,3 miliar dan US$ 453 ribu. Kerugian ini ditimbulkan dari dana reboisasi dan iuran hasil hutan. Sementara temuan Kementrian Kehutanan menyebutkan terdapat 282 perusahaan kebun dengan luas 3,8 juta hektar dan 629 perusahaan tambang dengan luas 3,5 juta hektar dengan kerugian Negara sebesar Rp.158,5 Triliun. Dalam menyikapi hal ini, artinya kejahatan di sektor kehutanan harus dilihat dari segi korupsi karena kerugian Negara yang begitu besar akibat kebijakan pemberian ijin untuk sawit dan tambang.

Peringatan hari lingkungan hidup sedunia Tahun 2012, UNEP (United Nations Environment Programme) menetapkan Tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2012 adalah “Green Economy: Does it include you?”. Tema ini menekankan pentingnya pelaksanaan ekonomi hijau oleh semua orang sesuai dengan proporsinya masing-masing baik pada tingkatan global, nasional hingga individu. Kunci dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup adalah peran serta dari semua komponen masyarakat.

Tema Hari Lingkungan Hidup Indonesia 2012 dari Kementrian Lingkungan Hidup adalah “Ekonomi Hijau: Ubah perilaku, tingkatkan kualitas lingkungan”. Makna utama dari tema ini adalah pentingnya melakukan perubahan paradigma dan juga perilaku kita untuk selalu mengambil setiap kesempatan dalam mencari informasi, belajar dan melakukan tindakan demi melindungi dan mengelola lingkungan hidup. Dengan kualitas lingkungan hidup yang lebih baik akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia.

Dan pada tahun ini, sekaligus memperingati setahun Moratorium Kehutanan, WALHI terus menjaga konsistensi advokasi dengan mengangkat tema Hari Lingkungan Hidup tahun 2012 dengan tagline: “Hutan Indonesia, Kita Yang Punya”. Moratorium menjadi pilar tersendiri bagi WALHI dalam menyandingkan tema Ekonomi Hijau tersebut, bahwa hutan Indonesia bukan menjadi pasar karbon, tetapi memang harus dipulihkan dan dikembalikan fungsinya. Karena Hutan Indonesia adalah kita yang punya, maka kita yang harus merebut kembali. Dan momentum hari lingkungan hidup menjadi upaya untuk mengubah perilaku, meningkatkan kualitas lingkungan Indonesia melalui program penyelamatan hutan. Pulihkan Indonesia.