Para Tokoh dan Adat Desa Tangar Datangi Wagub

TRIBUN KALTENG.COM, PALANGKARAYA - Sudah selama tujuh tahun tanpa penyelesaian, membuat warga dan tokoh Desa Tangar Kecamatan Mentayahulu, Kotawaringin Timur, hampir patah arang.

Dengan penuh harapan, mereka pun meminta Pemprov Kalteng bertindak. Kepada Wakil Gubernur Achmad Diran, Senin (28/1), warga menyatakan selama ini nyaris putus asa memperjuangkan lahan milik mereka yang dikuasai oleh sebuah perusahaan yang beroperasi di daerah tersebut.

"Kami sudah minta Pemkab Kotim untuk membantu menyelesaikannya. Tapi rasanya sudah jenuh, karena tidak ada penyelesaian," ujar Kades Tangar Sukarsih.

Selain warga setempat, Sukaarsih datang menemui wagub juga didampingi beberapa tokoh adat Dayak. Seperti Ketua DAD Kalteng Sabran Achmad yang mengaku prihatin atas nasib warga tersebut.

Pemkab Tak Mampu, Mengadu ke Pemprov

PALANGKA RAYA Karena menilai Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Timur (Kotim) tidak mampu menyelesaikan sengketa lahan dengan perkebunan kelapa sawit, akhirnya warga Desa Tangar Kecamatan Mentaya Hulu, langsung mengadu ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng. Pengaduan warga dari hulu Sungai Mentaya itu diterima Wagub H Achmad Diran di ruang kerjanya, Senin (28/1) siang. Kedatangan 10 orang perwakilan dari 287 kepala keluarga itu didampingi kepala desanya, Sukarsih yang merupakan satu-satunya perempuan dalam rombongan dari Desa Tangar kemarin.

Mereka didampingi sejumlah pengurus Dewan Adat Dayak (DAD) termasuk Ketua DAD Kalteng Sabran Achmad, mengadukan tentang tindakan salah satu anak perusahaan PT Wilmar Group yang dinilai telah menggarap lahan milik warga Desa Tangar. Menurut Kades Tangar Sukarsih, perusahaan itu telah menggarap lahan masyarakat dan disinyalir telah melebihi izin sesuai hak guna usaha (HGU) yang diberikan pemerintah. Warga desa itu sudah berusaha menyelesaikannya melalui Pemkab Kotim. Namun hingga saat ini belum ada titik terang. Akhirnya warga memilih langsung mengadu ke Pemprov Kalteng. Kami telah berusaha melakukan mediasi, namun tetap tidak ada jalan tengah dan tak kunjung diselesaikan, kata Sukarsih yang juga dibenarkan sejumlah warganya yang ikut mengadu ke wagub. Sukarsih menjelaskan, sengketa lahan antara warga dengan salah satu anak perusahaan Wilmar Group itu terjadi sejak 2007.

Perselisihan berawal dari perusahaan yang dinilai telah menggarap lahan warga yang sudah ditempati turun temurun. Sejak tahun 2005 sampai sekarang, nasib kami selalu tertindas dan terhina oleh salah satu anak perusahaan Wilmar Group itu, karena hak kami dirampas tanpa ada penyelesaian sampai sekarang, kata Sukarsih saat bertemu dengan Wagub Achmad Diran, kemarin. Untuk menyelesaikan sengketa lahan itu, lanjut Sukarsih, sudah berlangsung cukup panjang, mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga ke Pemprov Kalteng. Kami akan mempertahankan tanah kami sampai titik darah penghabisan dan kami tidak akan mundur sejengkal pun demi mempertahankan hak-hak kami, ungkapnya. Selain merampas lahan warga Desa Tangar, menurut Sukarsih, salah satu perusahaan Wilmar Group yang beroperasi di Kecamatan Mentaya Hulu itu telah merusak situs keramat. Pengerusakan itu terjadi pada 20 Januari 2013. Selain itu, terjadi pemukulan dan intimidasi terhadap warga Desa Tangar oleh oknum brimob berinisial Wid di kebun kelapa sawit terhadap saudara Juang, ungkapnya.

Menanggapi pengaduan tersebut, Wagub Achmad Diran berjanji akan membentuk tim khusus serta memanggil manajemen PT Wilmar Group dalam waktu dekat. Kita akan bentuk sebuah tim yang bertugas melakukan penelitian dan mengecek hak guna usaha perusahaan dan turun langsung ke lokasi, kata Diran kepada wartawan usai pertemuan dengan warga. Dijelaskan Diran, bahwa saat bertemu manajemen perusahaan nanti, akan didampingi perwakilan dari Polda Kalteng, Dinas Kehutanan serta Pemkab Kotim, untuk memastikan izin perusahaan itu legal atau tidak. Kalau perusahaan menggarap lahan di luar hak guna usaha bisa diberikan sanksi karena melanggar hukum. Kalau sampai itu terjadi sanksi pidana akan menanti pihak perusahaan, karena tanah itu bukan hak mereka tetapi tanah negara, tegasnya. (usy/*/ens)

Sumber :